Kamis, 28 Maret 2024

Dinding Stereotipe Gender: Mengapa Harus Dibongkar?

Murianews
Minggu, 4 Juni 2023 06:00:15
Nisrina Faradiva Az Zahra
[caption id="attachment_385362" align="alignleft" width="150"] Nisrina Faradiva Az Zahra *)[/caption] SAYA akan membahas isu yang tidak bisa lagi diabaikan, yakni mengenai stereotipe gender. Stereotipe gender telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kita. Di seluruh dunia, terdapat ekspektasi dan peran yang telah ditetapkan untuk membatasi laki-laki dan perempuan. Peran ini sering kali memisahkan laki-laki dan perempuan ke dalam kotak yang sempit. Namun, dunia terus berubah, dan kita harus beradaptasi dengan perubahan. Sudah waktunya kita untuk merobohkan batasan-batasan ini, dan mengizinkan kebebasan serta kesempatan yang sama bagi semua individu. Ketika peran gender yang kaku dan terbatas diterapkan, masyarakat kehilangan kesempatan untuk merasakan kemajuan yang sebenarnya. Lihatlah sekeliling kita. Perempuan diharapkan untuk menjadi ibu rumah tangga yang sabar, lembut, terbatas pada tugas domestik seperti pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Perempuan sering kali dianggap memiliki sikap yang lemah serta harus tunduk kepada laki-laki. Sementara itu, laki-laki juga dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga yang tangguh, berkuasa, dan tidak menunjukkan emosi ataupun kelemahan. Laki-laki dianggap sebagai sosok yang harus kuat, tegas, dan juga mengedepankan dominasi dalam segala hal. Stereotipe ini berakar dalam budaya patriarki dan berkontribusi terhadap ketidakadilan gender. Hal tersebut tidak hanya membatasi kebebasan individu dalam mengeksplorasi minat dan bakat, tetapi juga memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan antargender. Stereotipe gender juga menciptakan ketidakadilan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu contohnya adalah kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan. Meskipun telah ada upaya untuk mencapai kesetaraan gender di tempat kerja, perempuan masih sering dibayar lebih rendah daripada laki-laki meski dalam pekerjaan yang sama. Stereotipe gender ini membuat perempuan sering kali diabaikan atau diremehkan. Menurut laporan World Economic Forum pada tahun 2020, perkiraan kesenjangan upah gender global mencapai 23%. Ini adalah bukti nyata dari dampak buruk yang memandang perempuan sebagai pekerja yang kurang berharga dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, stereotipe gender tentu saja menghalangi individu untuk mencapai potensinya dengan maksimal. Banyak orang yang terjebak dalam  peran yang ditetapkan oleh masyarakat, merasa terikat oleh stereotipe gender yang sempit. Laki-laki yang ingin mengejar karier di bidang seni atau memilih untuk merawat anak mereka sering kali dianggap ”payah” atau ”tidak cukup maskulin." Sementara perempuan yang ingin menjadi pemimpin atau berkarier di bidang teknologi yang didominasi oleh laki-laki sering kali dihadapkan pada hambatan dan prasangka bermacam-macam dari banyak orang. Stereotipe gender ini menghambat individu untuk mengeksplorasi minat mereka dengan bebas dan mencapai potensi maksimal tanpa dibatasi oleh peran yang ditentukan oleh jenis kelamin mereka. Kesenjangan Gender di Indonesia Di Indonesia, meskipun terlihat ada beberapa kemajuan yang dicapai, tetap saja terdapat kesenjangan gender yang perlu diatasi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2021, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia hanya sekitar 53,25 %, sedangkan laki-laki mencapai 79,24 %. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara partisipasi perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja. Kemudian di bidang pendidikan, menurut data UNESCO, tingkat melek huruf perempuan di Indonesia pada tahun 2018 adalah 93,4%, sedangkan untuk laki-laki mencapai 97,6%. Akses perempuan menuju pendidikan tinggi juga masih menghadapi tantangan, terutama di daerah terpencil. Masalah kekerasan terhadap perempuan juga masih menjadi isu yang signifikan. Survei nasional tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 35,1% perempuan Indonesia mengalami kekerasan, baik fisik maupun seksual. Maka dari itu, untuk mencapai kesetaraan gender yang lebih baik tentu saja peran tradisional harus dibongkar. Kita harus melepaskan diri dari belenggu stereotipe gender yang membatasi potensi kita. Bagaimana solusinya? Pendidikan menjadi faktor kunci. Kita harus mendorong sistem pendidikan yang di mana anak-anak diberikan kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka tanpa batasan gender. Guru dan orang tua perlu bekerja sama dalam membentuk lingkungan pendidikan yang mendukung pertumbuhan dan pencapaian semua anak, terlepas dari stereotipe gender yang melekat. Selain itu, media massa juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Media yang berpengaruh, memiliki kesempatan untuk menghadirkan konten yang memecah stereotipe gender dan mempromosikan perempuan yang tangguh, laki-laki yang berempati, serta kisah-kisah inspiratif dari individu yang menantang peran tradisional. Dengan memberikan ruang yang adil bagi semua suara, media massa dapat menjadi agen perubahan yang kuat dalam melawan stereotipe gender. Mari kita lihat contoh tokoh inspiratif seperti RA Kartini, seorang pahlawan nasional yang menantang norma-norma sosial pada zamannya dan berjuang untuk kesetaraan gender dan pendidikan bagi perempuan. Beliau mampu membuktikan bahwa perempuan tidak harus terikat dalam peran rumah tangga saja, tetapi juga mampu berkontribusi dalam dunia intelektual dan sosial. Begitu pula dengan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Indonesia yang saat ini menjabat, telah menjadi contoh inspiratif bagi banyak perempuan dengan keberhasilannya di bidang ekonomi dan kepemimpinan, membuktikan bahwa perempuan dapat menduduki posisi tinggi dalam pemerintahan dan berkontribusi dalam pembangunan negara. Mungkin nama Susi Pudjiastuti juga yang tidak terdengar asing. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia ini, berhasil menantang stereotipe gender dengan menjadi seorang pengusaha sukses dan pemimpin di bidang maritim, memimpin dalam sektor yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Dengan mengikuti jejak tokoh-tokoh inspiratif seperti mereka, kita dapat merobohkan dinding-dinding stereotipe gender. Menghapus batasan-batasan tersebut akan membuka jalan bagi perempuan dan laki-laki untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihan mereka, memilih karier yang mereka impikan, dan berpartisipasi aktif dalam minat dan bakat mereka agar mencapai potensi yang maksimal. Ketika kesetaraan gender diwujudkan, masyarakat tentu akan mendapatkan manfaatnya. Banyak negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang tinggi, cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, tingkat kemiskinan yang lebih rendah, serta akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Selain itu, kesetaraan gender juga berkontribusi pada mewujudkan perdamaian, keadilan, dan keamanan dalam masyarakat. Jadi, mari kita bersama-sama menantang stereotipe gender dan merobohkan peran tradisional yang membatasi potensi individu. Melalui pendidikan, peran aktif media massa, dan inspirasi dari tokoh-tokoh yang berhasil menantang dinding stereotipe gender ini, kita dapat mulai menciptakan dunia di mana setiap individu dapat mencapai impian dan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat, tanpa harus memandang jenis kelamin mereka. (*)   *) Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Baca Juga

Komentar