Kamis, 28 Maret 2024

Santri dan Kepekaan Sosial

Murianews
Sabtu, 22 Oktober 2022 09:55:32
Perwakilan santri mengikuti apel Hari Santri Nasional di halaman pendapa Kabupaten Kudus. (MURIANEWS/Yuda Auliya Rahman)
[caption id="attachment_214136" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] JUMAT 21 Oktober 2022 Wapres Ma’ruf Amin berpesan pada Perayaan Hari Santri di Kemenkopolhukam Jakarta bahwa peran dan tuntutan santri masa kini untuk menjaga ukhuwah, toleran, dan membangun bangsa dengan memperbaiki bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Hari Santri tiap 22 Oktober tandas Wapres diilhami munculnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari (tokoh NU) untuk santri dan ulama di pesantren di Nusantara sebagai wujud kebulatan tekad membela Tanah Air. Santri mendapat penghargaan dari negara karena sikapnya semangat cinta Tanah Air (bagian dari iman), siap berkorban untuk bangsa, komit dengan bentuk NKRI berdasarkan Pancasila (anti khilafah, keamiran, kerajaan), dan santri konsisten memakmurkan Bumi. Mahfud MD, Menkopolhukam memperkuatnya, Hari Santri dirayakan di Kemenkopolhukam karena negara dibangun bersama santri dan ulama bersama anak bangsa lainnya maka wajib bagi santri mempertahankan ideologi negara. Pesan luhur dua santri masa mudanya (Wapres dan Menkopolhukam) perlu dikroscek dengan fakta, sudahkah menjadi napas hidup santri dalam kehidupannya? Santun di Tempat Ibadah Terbitnya Surat Edaran Menag Nomor 05/2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sebagai penegas bahwa penggunaan pengeras suara di tempat ini perlu evaluasi. Jauh sebelumnya terbit SE Nomor Kep/D/101/1978 diperkuat terbitnya SE Nomor B.3940.D.J.III/HK.007/08/2018 perihal pelaksanaan instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978. Pengulangan SE menegaskan bahwa santri perlu diingatkan agar tetap menaati aturan. Bila dipotret rangkaian penggunaan speaker di sebagian masjid, musala atau majelis taklim yang dikelola santri suaranya ke luar (selain azan yang dimaklumi publik bila suaranya tak menghentak) utamanya pada bulan Ramadan (1) qiroah menjelang buka puasa/akan tiba waktu salat magrib, (2) pujian, (3) murotal atau qiroah menjelang waktu isyak, (4) pujian, (5) bacaan imam salat tarwih, (6) tadarus al-Quran, (7) tarkhim masa sahur, (8) qiroah menjelang waktu subuh, (9) pujian, (10) ada yang tadarus lagi seusai jamaah subuh, (11) malam 1 Syawal baca takbir hingga larut malam. Selain bulan Ramadan, ada pula yang (12) membaca tahlil berjemaah seusai magrib pada malam Jumat, (13) pembacaan siroh nabawiyah beserta syairnya bersumber dari Kitab adz-Dzibai karya Imam al-Barzanji (berjanjen) malam Senin atau malam Jumat seusai maghrib/isyak, (14) ada juga mengaji al-Quran dan kitab salaf ala bandongan/sorogan seusai maghrib/subuh, (15) ada pula kirim doa arwah pada Jumat pagi hingga menjelang dzuhur. Hal ini kasuistis ada di masjid/musala yang dikelola santri maka perlu mendewasakan diri untuk menaati edaran Menag. Pertanyaannya, mengapa menggunakan speaker suaranya ke luar (selain azan)? agar terpublikasikan? Apakah tiap ritual harus dipublikasikan? Perlu diingat keikhlasan hamba beribadah penghambaannya diukur bila makin jauh dari publikasi, apalagi tradisi itu bertahun-tahun, tak perlu iklanisasi pada jemaah. Tradisi gemledek perlu dievaluasi bahwa bersesama di tengah masyarakat butuh kenyamanan, utamanya yang dekat sumber suara. Kenyamanan tercipta bila (selain azan) memanfaatkan speaker suara ke dalam saja, tidak ke luar lebih santun dan jumowo sebagai santri yang taat aturan pemerintah. Perlunya pendefinisian ulang tentang syiar yakni mengajak kebaikan dan berperilaku sesuai syariat, hukum negara, dan norma sosial yang tidak mengganggu sesama apa pun dalihnya, sebagaimana pesan Wapres dan Menkopolhukam di atas. Perlu Pembelajaran bagi Santri Perlunya melihat Islam di Kampung Mbareng, Kauman, Jekulo, Kudus yang tumbuh berkat upaya Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan dikembangkan pendakwah dari Djenu, Tuban, Jawa Timur, Abdul Jalil (panglima Perang Raden Fatah, Sultan Bintoro Demak). Ia menetap di Kampung Pagudjangan (nama pra-Jekulo) bersama Abdul Qohar, keduanya dimakamkan di sebelah/kawasan dengan Masjid Baitussalam. Tahun 1890, 1916-1917 masjid direnovasi dimotori Kiai Sanusi. Tahun 1930/1931 penambahan bangunan serambi masjid, pada 14 Zulhijjah 1388 H/3 Maret 1969 M-14 Zulhijjah 1389 H/20 Februari 1970 M masjid diperbesar seperti kini. Hal yang beda sering diklaim nyeleneh meski faktanya perlu dijadikan rujukan. Masjid Baitussalam di kampung santri ini memiliki perbedaan dengan masjid lain, suara speaker ke luar hanya untuk khotbah Jumat dan Idain. Azan salat maktubah pun tidak dilagukan, setelah azan tak ada pujian (bersyair), hanya salat qabliyah lalu salat jemaah untuk lima waktu. Masjid nahdliyin ini hanya difungsikan untuk jemaah salat dan mengaji kitab salaf. Hiruk pikuk speaker tak terjadi di masjid ini karena menaati dawuh sesepuh yang santun dengan memahami bahwa tetangga sekitar masjid perlu istirahat dan ibadah/mengaji/berjanjen tidak perlu suara speaker ke luar. Kesadaran warga Kauman Jekulo melestarikan dawuh sebagai mutiara yang perlu ditiru oleh santri di mana pun berada agar kenyamanan bersesama tidak terganggu suara speaker yang tidak perlu. Tema Hari Santri 2022, Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan, harus menjadi realitas kehidupan diri santri dan lingkungannya. Selamat Hari Santri. Nuwun. (*)   *) Pemerhati Budaya, Dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar