Jumat, 29 Maret 2024

Urgensi Revitalisasi Kota Kuno Kudus

Murianews
Senin, 30 Mei 2022 06:00:13
Kompleks Menara Kudus yang punya mitos bisa melengserkan pejabat. (MURIANEWS/Vega Ma’arijil Ula)
[caption id="attachment_270327" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] KEBERADAAN tata kota/wilayah sebuah kota/desa tak sebatas tempat tapi ada pesan bermakna sejarah diwariskan leluhur bagi generasinya. Hal ini dapat disaksikan keberadaan kota kuno/tua di berbagai wilayah di Nusantara. Kota Kudus, dari kata al-Quds (suci) menyimpan makna adiluhung yang diwariskan sejak era Sunan Kudus, sebelumnya dihuni komunitas Hindu pra-Islam di Kudus dengan nama Tajuq. Eksistensi pra-Islam dan Islam masa awal jejaknya dapat dipahami hingga kini di Kudus berupa situs bersejarah dengan nilai budaya kuna yang khas. Terdiri dari Langgar Bubrah (tempat persembahyangan kuno) di Dukuh Tepasan, Desa Demangan, Kecamatan Kota (berjarak hanya 200 meter dari Kawasan Menara Kudus). Situs ini masih ada peninggalan khas Hindu (lingga dan yoni). Kemudian Gapura Kembar (dua gapura) di serambi dan di dalam Masjid al-Aqsha (orang Kudus menyebut Masjid Menara, di halaman Masjid ada Menara kuna khas, dua gapura oleh orang Hindu menyebutnya kori, pintu masuk pure). Menara direnovasi empat kali oleh Balai Cagar Budaya Jateng maka bahan baku bata merahnya tidak semua original lagi, karena diganti baru akibat terpaan angin, air hujan, dan teriknya surya. Ada juga Gapura Paduraksa di halaman Masjid al-Makmur, Desa Jepang (penulisan awalnya Jipang), Kecamatan Mejobo. Di Masjid ini ada tradisi doa tolak-balak tahunan, tiap malam Rabu keempat bulan Syafar dengan kirab budaya, salat sunah dan doa tolak-balak, dan meminum air dari sumur tua di masjid (air salamun, terilhami kata ‘salamun qaulan min rabbirrahim’, al-Quran surat Yasin). Kemudian juga Gapura Paduraksa di halaman Masjid at-Taqwa, Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati. Ada tradisi manten mubeng yakni pengantin warga Desa Loram Kulon (nahdliyin), pasca-ijab Kabul, mengelilingi gapura dengan berdoa. Berikutnya, Masjid Muria, di Gunung Muria, peninggalan Sunan Muria. Dan candi yang ditemukan petani tahun 1990-an di Desa Bacin, Kecamatan Bae, kini disimpan di Museum Ronggowarsito, Kota Semarang. Temuan ini dikelola Dinas Kebudayaan Jateng karena Kudus belum memiliki museum benda kuno, hanya memiliki Museum Kretek dan Museum Fosil Purba Patiayam. Jejak masa lalu lainnya banyak yang belum teridentifikasi era kapan, inisiator/pembuat/kreatornya dengan fix yakni Masjid Langgar Dalem, di Desa Langgar Dalem, Kecamatan Kota. Masjid di Kawasan Kauman ini di dalamnya terdapat ornamen kuno yang unik dan ada sangkalan pinulet yakni senjata Syiwa yang distilisasi ada di ambal-ambal (dekat tempat menaruh sandal bagi jamaah salat). Baca: Alun-Alun Lama Kudus Bakal Dihidupkan Lagi Masjid Baitul Aziz di Desa Hadiwarno, Kecamatan Mejobo ada pintu kuno berelif atau pahatan kuna tiga tingkat. Diduga, dalam tradisi tutur, Baitul Aziz didirikan tahun 863 H lebih dulu daripada Masjid al-Aqsha yang berdiri tahun 956 H. Kemudian, Masjid Nganguk Wali di Desa Kramat, Kecamatan Kota. Masjid ini di tengah kota yang direnovasi menyisakan sumur tua. Dan) Masjid Baitul Muttaqin di Desa Jati Wetan, Kecamatan Jati dengan bata merah kunonya di kawasan masjid yang onggokan batunya menjadi pemandangan khas. Ragam jejak budaya tersebut perlu kajian perspektif arkeolog dan sejarawan, tidak hanya prediksi yang didominasi tuturan. Urgensi Revitalisasi Hal mendesak, butuh perawatan ekstra oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus agar jejak masa lalu tidak berlalu meski ada yang dirawat oleh pamong budaya, bimbingan Dinbudpar Kudus. Paparan di atas menegaskan bahwa Kota Kuno di Kudus, tentu tidak hanya di Kawasan Menara Kudus di Desa Kauman, Kecamatan Kota, mengapa? Jejak kuno ada di beberapa tempat di Kota Kudus. Tahun 2015 dengan APBD Kudus, Taman Beringin, di Kawasan Kauman Menara Kudus direnovasi dan mengubah sketsa kota kuno. Upaya Pemkab Kudus bila mengembalikan, merevitalisasinya mengutamakan ruko yang memisahkan Masjid/Menara Kudus dengan Taman Beringin, disterilisasi dengan sistem ganti untung agar view antara Masjid al-Aqsha, Masjid Paduraksa, Taman Beringin (masih ada satu Pohon Beringin tua), dan Kelenteng Hok Hien Bio (yang makin sunyi jemaat yang sembahyang karena dinamika sosial) makin nampak gamblang batasnya. Biaya tidak ekonomis bukan penghalang bila niat baik Pemda Kudus menghidupkan Kawasan Menara Kudus yang eksotik. APBD Kudus telah dikucurkan untuk revitalisasi trotoar Kawasan Menara dan menutup trayek angkot meski pedagang kaki lima (PKL) di kawasan itu perlu ditertibkan agar area yang kian menyempit menjadi tertib. Selain itu dibutuhkan anggaran perawatan rutin agar hasil renovasi yang diawali dengan rundingan dengan sejarawan, arkeolog, tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kudus hasilnya tidak mengecewakan. Dengan demikian, khazanah budaya daerah menjadi khazanah nasional dan dunia (world heritage) bila direvitalisasi, dihidupkan makna dan fungsinya karena memiliki pesan historis di tengah dinamikanya. Nuwun.  (*)   *) Pemerhati Sejarah, Dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar