Jumat, 29 Maret 2024

Doa Puasa Hari ke-17 dan Sejarah Nuzulul Qur’an

Murianews
Senin, 18 April 2022 22:30:08
berdoa saat bulan ramadhan (pixabay.com)
[caption id="attachment_271897" align="alignleft" width="1280"]Doa Puasa Hari ke-17 dan Sejarah Nuzulul Qur’an berdoa saat bulan ramadhan (pixabay.com)[/caption] MURIANEWS, Kudus- Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam. Pada bulan Ramadan ini, umat Islam mendapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Bulan Ramadan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar. Semua amal saleh yang dilakukan pada bulan ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik. Pada bulan ini umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan. Bulan suci Ramadan merupakan sebuah momentum penting bagi umat muslim. Pada bulan ini, semua orang berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan beribadah kepada Allah SWT. Baca juga: Doa yang Dibaca saat Sahur Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Di bulan ini (Ramadan) napasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima, dan doa-doamu diijabah." Agar puasa Ramadan semakin berkah, kamu harus tahu doa-doa harian dari hari pertama hingga terakhir puasa. Berikut doa hari ke-17 puasa Ramadan, seperti dikutip dari idntimes.com. Doa Hari ke-17 Puasa Ramadan: اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْهِ لِصَالِحِ الأَعْمَالِ وَ اقْضِ لِيْ فِيْهِ الْحَوَائِجَ وَ الآمَالَ يَا مَنْ لاَ يَحْتَاجُ إِلَى التَّفْسِيْرِ وَالسُّؤَالِ يَا عَالِمًا بِمَا فِيْ صُدُوْرِ الْعَالَمِيْنَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ الطَّاهِرِيْنَ Allâhummah dinî fîhi lishâlihil a’mâli waqdhi lî fîhil hawâija wal âmâla yâ man lâ yahtâju ilat tafsîr was suâli yâ ‘âliman bimâ fî shudûril ‘âlamîn shalli ‘alâ muhammadin wa âlihith thâhirîn. Artinya: ”Ya Allah anugerahilah aku di bulan ini untuk bisa berperilaku yang baik dan kabulkanlah semua hajat dan keinginanku. Wahai yang tidak memerlukan penjelasan dan pertanyaan. Wahai yang Maha mengetahui apa yang ada di dalam alam ini. Anugerahilah selawat dan salam bagi Muhammad SAW dan keluarganya yang suci.” Sejarah Nuzulul Qur’an Malam Nuzulul Qur’an merupakan peristiwa bersejarah pada bulan Ramadan. Para ulama sepakat bahwa malam Nuzulul Qur’an merupakan malam turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur pada bulan Ramadhan, yakni pada malam ke-17. Melansir dari laman NU Online, Syekh M Ali As-Shabuni bercerita bahwa Al-Qur’an pertama kali turun pada tanggal 17 Ramadan saat usia Rasulullah mencapai 40 tahun (sekitar 608-609 M). Ketika Rasulullah sedang beruzlah di gua Hira (sekira 5 kilometer dari Makkah), tiba-tiba Jibril datang membawa wahyu. Jibril memeluk dan melepaskan Rasulullah SAW. Hal ini diulanginya sebanyak 3 kali. Setiap kali memeluk, Jibril mengatakan, “Iqra’!” artinya “Bacalah.” “Aku tidak mengenal bacaan,” jawab Rasulullah. “Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, khalaqal insana min alaq. Iqra wa rabbukal akram. Alladzi allama bil qalam. Allamal insana ma lam ya’lam,” kata Jibril pada kali ketiga membaca Surat Al-Alaq ayat 1-5. Ini merupakan awal mula turun wahyu, awal mula turun Al-Qur’an. Sebelum peristiwa agung ini terjadi, beberapa petunjuk mengisyaratkan semakin dekatnya turun wahyu dan kenabian Rasulullah SAW. Sebagian tanda itu adalah mimpi Rasulullah yang disusul dengan peristiwa nyata sesuai dengan mimpinya. Tanda lainnya adalah kesenangan uzlah (menyepi) Rasulullah SAW menjelang turunnya wahyu. (Syekh M Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Mawahib Al-Islamiyyah: 2016], halaman 14-15). Pandangan ini didukung oleh riwayat Imam Bukhari dari sayyidah Asiyah RA. Bulan Ramadhan disebut secara harfiah sebagai turunnya Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah ayat 185. Sedangkan malaikat yang turun membawa wahyu adalah Ruh Amin atau Ruh Kudus yang disepakati sebagai Jibril oleh mufassirin sebagaimana keterangan Surat As-Syu’ara ayat 193-195 dan Surat An-Nahl ayat 102. (As-Shabuni, 2016: 15-16). Sebagian ulama berpendapat bahwa wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah Surat Al-Muddatstsir sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Jabir bin Abdullah. (Syekh Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Ilmi wal Iman: tanpa tahun], halaman 62).  Pandangan kedua dapat dibantah bahwa pertanyaan yang diajukan kepada Jabir bin Abdullah adalah surat Al-Qur’an secara lengkap yang pertama kali turun, bukan ayat Al-Quran yang pertama kali turun. Ketika ditanya surat yang pertama turun secara lengkap, Jabir RA menyebut Surat Al-Muddatstsir sebagai surat Al-Quran pertama yang turun secara utuh sebelum Surat Al-Alaq turun secara lengkap. Sedangkan Surat Al-Alaq turun lebih awal meski hanya bagian pertamanya, Surat Al-Alaq ayat 1-5. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 62). Bantahan ini didukung oleh riwayat Jabir pada Bukhari dan Muslim yang menyebutkan “masa fatrah wahyu.” Riwayat Jabir menunjukkan peristiwa pada cerita Rasulullah ini terjadi setelah peristiwa di gua Hira. Dapat juga dipahami bahwa Al-Muddatstsir adalah surat utuh Al-Qur’an yang pertama kali turun pada masa fatrah turunnya wahyu. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa wahyu yang pertama kali turun adalah Surat Al-Alaq ayat 1-5. Sedangkan surat utuh Al-Qur’an yang pertama kali turun atau turun setelah masa fatrah wahyu adalah Surat Al-Muddatstsir. Simpulan lainnya, wahyu yang pertama kali turun pada masa kerasulan adalah Surat Al-Muddatstsir. Sedangkan wahyu yang pertama kali turun pada masa kenabian adalah Surat Al-Alaq ayat 1-5. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 62-63). Sebagian ulama berpendapat, wahyu yang pertama kali turun adalah Surat Al-Fatihah yang didukung riwayat munqathi. Bisa jadi yang dimaksud adalah surat Al-Qur’an yang pertama kali turun secara sempurna. Sebagian ulama lainnya berpendapat, wahyu yang pertama kali turun adalah basmalah (bismillahir rahmanir rahim) karena basmalah merupakan awal setiap surat Al-Qur’an. kedua pendapat terakhir, kata Al-Qaththan, didukung oleh hadits mursal. Adapun pendapat yang kuat adalah pendapat pertama yang didukung oleh riwayat Sayyidah Aisyah RA… Sedangkan pada hadits riwayat Sayyidah Aisyah RA dan riwayat sahabat Jabir bin Abdullah RA tidak terdapat pertentangan. Peristiwa Surat Al-Alaq di gua Hira terjadi yang kemudian disusul masa fatrah wahyu. Setelah itu Surat Al-Muddatstsir turun menyusul Surat Al-Alaq. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 63). Imam Badruddin Az-Zarkasyi mengatakan, sebagian ulama mengambil metode tariqatul jam’i antara hadits riwayat Sayyidah Aisyah RA dan riwayat sahabat Jabir RA. Menurut mereka, sahabat Jabir hanya mendengar bagian akhir cerita Rasulullah SAW perihal awal turunnya wahyu. Sahabat Jabir hanya mendengar akhir cerita sehingga ia mengira bahwa wahyu yang pertama turun adalah Surat Al-Muddatstsir. (Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadis: 2018 M/1440 H], halaman 144). Sebagian ulama berargumentasi, wahyu pertama yang turun untuk menyatakan risalah atau kerasulan adalah Surat Al-Muddatstsir. Sedangkan wahyu pertama yang turun untuk menyatakan nubuwwah atau kenabian adalah Surat Al-Alaq. Kalau kenabian merupakan wahyu yang ditujukan kepada seseorang melalui malaikat untuk suatu taklif secara khusus, maka Surat Al-Muddatstsir menunjukkan kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebuah wahyu yang ditujukan kepada seseorang melalui malaikat untuk suatu taklif secara umum. (Az-Zarkasyi, 2018 M: 145). Imam As-Suyuthi mengatakan, ulama memang berbeda pendapat perihal wahyu yang pertama kali turun. Tetapi ia mengatakan, pendapat yang sahih adalah pendapat yang mengatakan Surat Al-Alaq sebagai wahyu yang pertama kali turun sebagaimana riwayat Aisyah pada Sahih Bukhari, Muslim, Al-Hakim, dan Al-Baihaki. Pendapat yang sahih ini juga didukung oleh riwayat At-Thabarani dari Abu Musa Al-Asy’ari, Kitab Sunan Said bin Mashur dari Ubaid bin Umair, Abu Ubaid dalam Kitab Fadhailul Qur’an dari Mujahid, Ibnu Astah dalam Kitabul Mashahif dari Ubaid bin Umair, dan dari Az-Zuhri. (Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2006 M/1427 H], juz I, halaman 95-96). Mengenai hadits riwayat Jabir bin Abdullah RA terkait Surat Al-Muddattsir, As-Suyuthi menjelaskan duduk perkara dengan lima jawaban yang sangat baik. (As-Suyuthi, 2006 M: I/96-97). Kajian awal wahyu yang pertama kali turun ini berbasis pada riwayat, atsar, manqul, atau tauqif sehingga tidak ada ruang interpretasi akal atau ijtihad selain menempuh metode tarjih sejumlah dalil atau metode jam’i antara dua dalil yang tampaknya kontradiktif/ta’arudh. (M Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2017 M/1438 H], halaman 77). Kajian dan perhatian khusus pada masalah ini bertujuan untuk memahami nasikh-mansukh terkait beberapa ayat yang berbicara satu isu tertentu, memahami sejarah legislasi hukum agama (tarikh tasyri al-islami) berikut pendekatan hukum yang bertahap (tadriji) serta tujuan/hikmah yang hendak dicapai di balik itu, menjauhkan mereka dari pelarian baik dalam meruntuhkan kebatilan yang mereka (jahiliyah) lakukan maupun menegakkan kebenaran yang belum mereka capai. (Az-Zarqani, 2017 M: 77). Kajian ini juga bertujuan untuk menyatakan perhatian besar terkai cakupan Al-Qur’an sehingga awal dan akhir wahyu dapat diketahui sebagaimana juga ayat makkiyyah dan madaniyyah, ayat mukim dan ayat perjalanan, serta kategori lainnya dapat diketahui secara pasti tanpa ragu. Semua ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an terbebas dari penggantian dan perubahan sebagaimana Surat Yunus ayat 64. (Az-Zarqani, 2017 M: 77). Wallahu a’lam.     Penulis: Dani Agus Editor: Dani Agus Sumber: idntimes.com, nu.or.id

Baca Juga

Komentar