Kamis, 28 Maret 2024

Gerakan Samin Antara Fakta dan Tuturan

Murianews
Minggu, 9 Januari 2022 15:10:03
Ilustrasi
[caption id="attachment_263819" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] MEMAHAMI gerakan sosial masa lalu perlu fakta sejarah yang fair agar tidak diragukan validitas datanya oleh generasi milenial. Berbeda dengan tradisi tutur (oral tradition) yang terwariskan antargenerasi secara tutur/lisan yang menjauh dari fakta sejarah karena pembelaan atas komunitasnya. Hal ini tidak bedanya membincangkan wong Samin yang gerakannya dimotori Ki Samin Surosentiko. Dalam perspektif sejarah (ilmiah) menurut Widyarsono (1998) gerakan Samin era 1905-1930 dimotori Surontiko Samin lahir pada 1859 di Desa Plosokediren, Randublatung, Blora. Ki Samin anak kedua dari lima lelaki bersaudara. Ia petani gogol (petani pemiliki rumah dan tanah maka membayar pajak) atau petani sikep memiliki sawah luasnya 3 bau (1 bau sama dengan 0,7 hektare), 1 bau ladang, dan 6 ekor sapi. Ki Samin pada masanya kategori kaya. Tingginya pajak pada kolonial Belanda memicunya menggerakkan petani memboikot pajak terutama pembaruan pajak tahun 1913-1914. Berarti pemicu gerakan karena pajak, bukan nasionalisme? Bila tidak ada pembayaran pajak atau pajak tidak tinggi maka mungkinkah Ki Samin melawan kolonial? Fakta sejarah ini berbeda dengan ontran-ontran dari warga Samin masa kini yang mengisahkan bahwa Ki Samin sang nasionalis, benarkah demikian? Fakta Sejarah Fakta sejarah lebih sahih untuk dijadikan dasar pijakan daripada tradisi tutur yang dibumbui fakta atas dasar primordialisme (tingginya rasa memiliki sosok karena ikatan norma atas dasar tradisi, dan lainnya). Hanya saja, kebenaran sejarah itu dinamik. Maksudnya membutuhkan data up to date (terkini), lebih ilmiah, dan utuh sehingga kebenaran hari ini, dapat direvisi karena adanya data terbaru. Dengan demikian, perlu menggali lagi kebenaran sejarah dengan fakta ilmiah agar tidak terjadi penjungkirbalikan sejarah. Meluruskan sejarah adalah langkah arif agar publik menemukan kebenaran sejarah, bukan asal mendengar kisah yang disejarahkan. Demikian pula, Saminisme (ajaran Samin) berupa etika hidup yakni tidak drengki (memfitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung), dahwen (mendakwa), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista terhadap sesama). Prinsip menghormati sesama bahwa bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat pun, asal manusia adalah saudara jika mau bersaudara). Selain itu, menjauhi lima pantangan berinteraksi yakni bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih di sawah), jumput (mengambil barang tidak di sawah), dan nemu wae ora keno (berpantang menemukan barang) dengan dalih kudu weruh te-e dewe (menggunakan barang hanya miliknya), lugu (taat prinsip), mligi (menjauhi pantangan), dan rukun. Kemudian, hubungan simetris antara diri dengan lingkungannya, ora seneng digunggung, ora serek diolo, wong urip iku kudu bener, rukun, eling marang sepodo-podo kanti laku seng ati-ati, waspodo, sabar, semeleh, lan seneng ati (tidak suka dibanggakan, tidak sakit hati tatkala dihina, orang hidup harus benar, rukun, ingat pada sesama dengan perilaku berhati-hati, selalu ingat, waspada, sabar, rendah hati, dan senang hati). Adapun prinsip slamet diwujudkan dengan prinsip hidup becik sak rinane lan sak wengine (hidup dengan baik di siang dan malam hari). Ajaran luhur tersebut lazim dipahami peneliti dan jurnalis bahwa warga Samin identik dengan kejujuran dan kesederhanaan. Prinsip tersebut bahasa khas Samin tapi substansinya merupakan ajaran agama-agama dan penghayat kepercayaan di belahan bumi mana pun. Pemahaman publik terbawa pemberitaan media yang hanya menggali data pola cepat tanpa ditelaah secara ilmiah dan mendalam, seakan-akan orang Samin berperilaku sebagaimana ajarannya secara utuh. Apa pun agama dan nama komunitasnya, sebatas masih manusia, tidak akan mampu melaksanakan ajaran agama/penghayat kepercayaannya dengan utuh karena tiap diri dibekali Tuhan nafsu yang memudahkan untuk berbuat tidak benar, sebagaimana wong Samin. Sudah saatnya, publik tidak menganggap lagi wong Samin kolot, miskin, terbelakang, dan pembangkang aturan. Tetapi, mereka lazimnya manusia, tidak selalu jujur, tidak lagi membangkang pajak. Mendudukkan posisi Samin secara fair sebagai langkah bijak, tidak memaparkan sekadar menarik simpati pembaca. Pemberitaan media yang menjauh dari fakta secara alami akan dipandang dengan mata sebelah karena menjauh dari fakta. Nuwun. (*)   *) Moh Rosyid, pemerhati sosial, dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar