Jumat, 29 Maret 2024

Suluk Maleman: Mengurai Batasan, Menemukan Kenikmatan

Cholis Anwar
Minggu, 19 Desember 2021 15:10:11
Anis Sholeh Ba’asyin dalam Suluk Maleman. (MURIANEWS/Istimewa)
[caption id="attachment_259439" align="alignleft" width="1280"] Anis Sholeh Ba’asyin dalam Suluk Maleman. (MURIANEWS/Istimewa)[/caption] MURIANEWS, Pati - Orang yang tidak tahu batasan, akan membuat hidupnya semakin tidak terkontrol. Apabila hidup tak terkontrol, maka tidak akan menemukan kebahagiaan. Jika kebahagiaan tidak didapatkan, maka kenikmatan tidak akan pernah dirasakan. Batasan justru akan membuat manusia semakin mengerti dan paham apa yang seharusnya dilakukan. Dengan batasan hidup akan menjadi semakin terarah dan fokus pada tujuan. Mengenai batasan ini diuraikan dengan cukup gamblang dalam Suluk Maleman yang digelar secara daring pada Sabtu (18/12/2021) malam. Dengan mengambil tema Ambang Batas, tiga pembicara masing-masing menguraikan pandangannya. Prof Dr Saratri Wilonoyudho mengatakan, batasan justru mampu memberi kenikmatan dan kebahagiaan. Dia mencontohkan bagaimana jika telinga manusia mampu mendengarkan hingga jarak yang jauh. Hal itu bisa saja justru membuat manusia dibuat pusing dengan segala suara yang dia dengar. “Bayangkan saja jika gigi tumbuh panjang tak beraturan. Tentu itu membuat kita kesulitan untuk makan, sehingga tak aka nada kenikmatan,” katanya. Membaca fenomena saat ini, sikap berlebih-lebihan atau tanpa batas memang banyak merambah ke berbagai sektor. Tak terkecuali dalam bentuk keserakahan memanfaatkan sumber daya alam. Eksploitasi tanpa batas banyak dilakukan tanpa memperhatikan kerusakan selanjutnya. Padahal manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah yang seharusnya mempu menjaga bumi dengan baik. Khalifah yang dapat memanfaatkan secara bijak semua kekayaan alam. “Bagaimana hanya untuk jam tangah mewah seharga Rp 12 miliar, manusia rela membabat berhektare-hektare hutan. Ini merupakan contoh tak adanya batasan dalam diri manusia,” terangnya. Dia menegaskan, cinta berlebihan pada harta dan dunia hingga membuat manusia terlena, telah menjadi bentuk kesyirikan tersendiri. Padahal sejak awal, Allah lewat wahyu yang diturunkanNya sudah mendidik agar manusia bisa selalu berada di posisi wasath, adil dan tidak melampaui batas. Anis Sholeh Ba’asyin, budayawan yang juga penggagas Suluk Maleman menambahkan, dalam agama pun persoalan batasan telah banyak diajarkan. Seperti anjuran untuk makan saat lapar namun berhenti sebelum kenyang. “Ini merupakan bentuk batasan agar manusia itu tidak berlebih-lebihan. Kita dididik untuk tidak melampaui batas dalam segala hal,” tambahnya. Sementara budayawan lain, Drs Ilyas menguraikan, fenomena berlebihan tersebut lantaran orang tak mampu mengaplikasikan puasa dengan benar. Bagi sebagian orang puasa dianggap sebagai halangan. “Mereka inginnya setiap hari itu hari raya. Padahal kalau benar itu terjadi, kenikmatan hari raya justru juga akan hilang. Manusia selalu berpikir bahwa semakin dikejar akan menemukan kenikmatan, tapi ternyata tidak bisa,” ungkapnya. Puasa menurutnya juga bermakna dalam kehidupan sosial, bukan sekadar soal tidak makan dan minum. Dengan puasa manusia diajar untuk bisa menahan diri sesuai batasan-batasan. “Dengan menahan diri, manusia justru mampu menyelamatkan diri dari  marabahaya,” pungkasnya.   Reporter: Cholis Anwar Editor: Ali Muntoha

Baca Juga

Komentar