Jumat, 29 Maret 2024

Semar Sebagai Representasi Pandangan Hidup Jawa

Murianews
Sabtu, 6 November 2021 16:25:41
Tokok wayang Semar. (Wikipedia)
[caption id="attachment_251364" align="alignleft" width="150"] Muhammad Fathur Rahman *)[/caption] WAYANG merupakan salah satu kebudayaan di tanah Jawa yang menyajikan gambaran komprehensif tentang corak kebudayaan Jawa. Kisah wayang pada dasarnya mengambil cerita dari Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Namun, kisah wayang di Jawa telah mengalami perpaduan akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Sehingga muncullah penambahan tokoh untuk menjembatani kisah Mahabharata (Pandawa) dan Ramayana (Pancawati) yaitu tokoh Semar dan anak-anaknya yang biasa disebut sebagai Punakawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong). (Rifqi:2017). Semar, baik tokoh dan pertunjukannya merupakan kisah khas dari wayang Jawa, sehingga kisah Semar tidak akan ditemui dalam epos-epos India asli. Kisah Semar digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai pengantar cerita Pandawa dalam siklus Mahabharata, Sumantri dalam siklus Sarabahu, dan Hanoman dalam cerita Ramayana. (Laksono:1985). Mitos Manikmaya merupakan sejarah munculnya dari tokoh Semar. Pada mulanya Sang Hyang Wisesa menemukan sesuatu yang tergantung di angkasa, berupa sebutir telur. Segera telur itu diambil dan diletakkan di atas telapak tangan, sehingga terciptalah menjadi 3 unsur. Unsur pertama menjadi bumi dan langit, unsur kedua menjadi teja dan cahaya, dan unsur ketiga menjadi Manik (Bethara Guru) dan Maya (Bethara Semar) (Suhardi:1996).  Ketiga unsur tersebut merupakan eksistensi pokok alam, yaitu bumi dan langit, cahaya, dan manusia. Manik dan Maya merupakan satu kesatuan, Maya (Bethara Semar) adalah wujud lahir dari Sang Hyang Wisesa yang tinggal di dunia manusia, sedangkan Manik (Bethara Guru) adalah wujud batin dari Sang Hyang Wisesa yang tinggal berbeda dengan dunia manusia. Tokoh Semar digambarkan dalam kisah pewayangan dengan serba kesamaran atau ambigu, dari namanya sendiri Semar berasal dari kata sengsem dan samar yang artinya cinta akan hal-hal yang samar atau ghaib, dari segi fisik Semar seperti laki-laki, namun memiliki wajah dan hidung yang mempesona bagai perempuan. Semar digambarkan sebagai penguasa kayangan, tetapi juga sebagai abdi dari Pandawa. Sifat ambigu Semar juga tercermin dalam setiap permunculannya. Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apa pun judul atau lakon yang sedang dikisahkan. Semar dan ksatria Pandawa selalu muncul pada setiap klimaks atau dalam perwayangan disebut sebagai gara-gara, dibarengi dengan tokoh Punakawan. Semar diciptakan dalam kisah pewayangan sebagai simbolisasi nilai-nilai ideal yang menjadi pandangan hidup bagi masyarakat Jawa. Berikut beberapa tokoh semar yang dikaitkan dengan pandangan hidup masyarakat Jawa. Semar ke Dunia; Mampir Ngombe Seperti yang telah dijelaskan bahwa pada hakikatnya Semar adalah satu kesatuan dengan Bethara Guru dan Sang Hyang Wisesa. Turunnya Semar ke dunia manusia merupakan suatu simbolisasi dari suatu pandangan bahwa hal itu dilakukan untuk sementara. Dunia manusia adalah dunia yang semu, samar. Sebab pada akhirnya hakikat dari hidup yang sesungguhnya kembali pada kehidupan semula menuju yang tunggal. Oleh karena itu turunnya Semar menuju dunia manusia yang serba sementara ini diibaratkan dengan mampir minum (mampir ngombe). Dharmahita (Pengabdian) Tokoh Semar dalam cerita pewayangan yang digambarkan sebagai dewa (Bethara Ismaya atau Semar), namun dalam kiprahnya di dunia Semar menjadi abdi atau pelayan dari Pandawa. Dalam pandangan masyarakat Jawa hal tersebut memiliki sebuah nilai bahwa; meskipun memiliki jabatan yang tinggi manusia hendaknya memiliki kerendahan hati, menampilkan diri dengan bergaul, pengabdian dan merakyat (dharmahita). Urip Samadya (Hidup Sederhana) Tokoh Semar yang merupakan sesosok dewa namun menjadi abdi juga mencerminkan satu nilai lainnya yaitu tentang hidup sederhana dan tidak terlalu ambisius. Seperti yang masyarakat Jawa terapkan bahwa sejak kecil masyarakat Jawa sudah diberi petuah atau wejangan oleh orang tuanya  untuk tetap hidup sederhana, jangan memiliki angan-angan terlalu tinggi dan tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya. Secukupnya saja dalam menikmati hidup, karena dalam kehidupan manusia itu layaknya roda yang berputar. Sehingga kita tetap memiliki batasan dalam melakukan segala hal, jika tidak memiliki batasan, dan terlalu ambisius ditakutkan kedepannya nanti akan  menimbulkan masalah bagi dirinya maupun orang di sekitarnya. Maka dari itu kita harus hidup sederhana (urip samadya). Alus Ing Pambudi (Berlaku santun dan Berbudi Halus) Semar yang digambarkan sebagai tokoh laki-laki, namun memiliki fisik dan sifat perempuan. Mencerminkan bahwa orang dalam tindak tanduknya dan dimanapun berada harus sopan santun, berbudi halus, lemah lembut bagai seorang perempuan, memandang dengan tidak melangak yaitu tidak memandang seperti menantang orang lain. Maka dari itu Semar dianugerahi sifat seperti seorang perempuan. Yang bagi masyarakat Jawa sifat yang halus adalah sifat yang ada pada perempuan. Sikap Masyarakat Jawa yang Samar-Samar Semar yang berasal dari kata samar, juga melekat pada sifat masyarakat Jawa.  Sifat samar seperti itu dilakukan untuk menghindari konflik, dan menjaga harmoni. Maka dari itu masyarakat Jawa biasanya akan berucap inggih meskipun pada dasarnya mboten, sehingga muncullah suatu ungkpan “inggah-inggih ora kepanggih” yang artinya berucap iya, namun tidak dilaksanakan (Soehadha:2014). Dalam segi penolakan masyarakat Jawa biasanya tidak mau langsung berkata “tidak”, namun melalui sebuah simbol senyuman halus yang dilemparkan kepada lawan bicaranya  dengan maksud menghormati, tidak mengecewakan, dan tidak menyakiti pihak yang ditolak tawaran atau permintaannya tersebut. (*)   *) Mahasiswa Sosiologi Agama 2018 UIN Sunan Kalijaga

Baca Juga

Komentar