Jumat, 29 Maret 2024

Jutaan Petani Gurem di Jateng Berpenghasilan Rp 380 Ribu per Bulan, Regulasi Pertanian Diminta Direvisi

Supriyadi
Rabu, 18 Agustus 2021 20:34:56
Petani di Blora tengah memanen padi. (MURIANEWS/Priyo)
[caption id="attachment_208607" align="alignleft" width="1024"] Para petani saat memanen padi yang sudah menguning, belum lama ini. (MURIANEWS)[/caption] MURIANEWS, Semarang - Kebijakan pemerintah terkait regulasi pertanian dan penentuan HPP gabah diminta untuk dievaluasi. Hal ini mengingat banyak petani yang memiliki lahan di bawah 2 ribu meter persegi atau sering disebut petani gurem masih jauh dari kata sejahtera. Sesuai hitung-hitungan, pendapatan petani di Jateng hanya Rp 380 ribu per bulannya dan jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Padahal, di Jateng sendiri ada sekitar 2,9 juta petani dan separuh di antaranya adala petani gurem. Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sumanto menjelaskan rata-rata hasil panen per hektare sawah sekitar 6 ton gabah. Saat dijual terjadi penyusutan sekitar 18 persen. Sesuai HPP, harga gabah Rp 4.200. Namun yang terjadi pada saat panen raya Juni lalu, harga jual gabah hanya Rp 3.400/kg. "Jika dikalikan, maka pendapatan petani per bulan hanya sekitar Rp 380 ribu. Harga rendah seperti itu, padahal UMK tiap tahun kan naik. Petani ini tetap bisa bertahan karena rata-rata memiliki sampingan seperti ternak atau tanaman lain," kata Sumanto pada wartawan, Rabu (18/8/2021). Sumanto menyentil pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan petani. Bahkan ia menyebut, semenjak zaman sebelum penjajahan, zaman penjajahan hingga sekarang ini tak ada petani yang sejahtera. Jika pun ada, sangat kecil persentasenya. Hal itu dicerminkan dari kebijakan pemerintah dan harga gabah. Kondisi itu ditambah dengan kesulitan petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Sumanto meminta Pemerintah Provinsi dan Pusat membenahi persoalan pupuk bersubsidi tersebut. Mulai dari data kebutuhan, distribusi, harga di pasaran hingga pupuk ini benar-benar sampai di tangan petani pengguna. "Dari dulu, yang namanya barang bersubsidi pasti banyak masalah. Pupuk, minyak atau lainnya. Orang yang bermain pasti banyak. Kemarin dibilang (pupuk bersubsidi), oh sudah cukup. Kenyataanya tidak," kata Sumanto Sumanto mengatakan persoalan pupuk ini juga terjadi pada masa tanam kedua atau MT II pada beberapa waktu lalu. Saat itu, terdapat kekurangan pupuk bersubsidi di lapangan. Ada desa yang kebutuhan pupuk bersubsidinya 3 ton, namun hanya dapat 2 ton. Maka 1 ton kebutuhan mereka harus didapatkan dari pupuk nonsubsidi. padahal harganya lebih mahal Politikus PDI Perjuangan ini menilai ada ketidakharmonisan antara apa yang terjadi di lapangan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. "Kalau subsidi ini terus dilakukan dan tata kelola tak benar maka persoalan akan terus berulang. Pupuk langka, susah dicari. Padahal petani itu butuh pupuk tepat waktu," tandasnya. Sebagai solusi kesejahteraan petani, maka Sumanto meminta subsidi pupuk dicabut. Anggaran subsidi itu dialihkan untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah. Semula Rp 4.200 menjadi Rp 5.500. Dengan langkah itu maka subsidi akan lebih tepat sasaran. "Angka Rp 5.500 itu ideal. Banyak petani yang memberikan masukan. Mereka juga siap tanpa subsidi harga pupuk, namun HPP harus naik di angka itu," solusi yang Sumanto tawarkan. Menurut Sumanto, urusan gabah dan beras harus menjadi hal yang urgent dan dikelola oleh negara. Ini seperti halnya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikelola oleh negara. "Maka kalau mau petani sejahtera gabah harus dibeli negara dengan HPP sekitar Rp 5.500," ujarnya.   Reporter: Supriyadi Editor: Supriyadi

Baca Juga

Komentar