Jumat, 29 Maret 2024

Melindungi Anak, Melindungi Masa Depan Bangsa

Murianews
Minggu, 21 Maret 2021 11:58:11
Siswa SDN 2 Langon Jepara saat mencuci tangannya sebelum masuk kelas. (Dok/MURIANEWS)
[caption id="attachment_209396" align="alignleft" width="150"] HM. Iskhak, SH., MA., MM *)[/caption] MERAWAT dan menjaga anak merupakan tanggung jawab dan kewajiban yang tidak dapat ditawar. Sebab ia adalah anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua. Meski secara spesifik tanggung jawab dan kewajiban tersebut untuk orang tua, namun dalam lingkup yang lebih luas negara juga wajib hadir untuk melindungi anak sebagai generasi bangsa yang pada masanya nanti merekalah yang akan melanjutkan estafet republik ini. Persoalan perlindungan anak pada nyatanya memang tidak dapat dipandang remeh. Data dari BPS Provinsi Jawa Tengah menunjukan kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah dengan jumlah yang relatif tinggi. Bentuk kekerasan yang diterima oleh anak di antaranya berupa kekerasan seksual, fisik, psikis, penelantaran, eksploitasi dan trafficking. Di Jawa Tengah, tindak kekerasan terhadap anak paling tinggi terjadi pada jenis kekerasan seksual yang mana pada tahun 2019 berjumlah 700 kasus. Jumlah tersebut sedikit menurun dibanding tahun 2018 yang berjumlah 734. Adapun kekerasan fisik pada anak sebanyak 292 kasus pada tahun 2019 dan 324 pada tahun 2018. Sedangkan kekerasan psikis pada tahun 2019 sejumlah 312 kasus dan 306 kasus pada 2018. Kemudian, dengan adanya situasi pandemi Covid-19 ini menurut DP3AP2KB Jawa Tengah jumlah kekerasan terhadap anak cenderung mengalami tren kenaikan sebab faktor ekonomi dan kejenuhan aktivitas di rumah. Angka-angka di atas hanyalah dari jumlah kasus kekerasan anak yang terdata dari laporan masyarakat. Adapun kasus-kasus yang tidak terlaporkan terindikasi tidak kalah banyak sebab adanya ketakutan dari yang bersangkutan atau ketidaktahuan akses untuk melapor. Kondisi di atas tentu memperihatinkan. Terlebih, pelaku dari kekerasan terhadap anak tidak sedikit yang berasal dari orang terdekatnya. Oleh karena itu, dalam upaya perlindungan anak memang tidak cukup dengan pendekatan struktural formal dari pemerintah, melainkan juga perlu adanya kesadaran kultural dari segenap subjek terkait.   Subjek dan Lingkungan Pelindungan Anak Anak seringkali menjadi objek kekerasan disebabkan oleh kondisi fisiknya yang belum kuat sehingga dianggap lemah dan tidak mampu melawan. Anggapan yang demikian tentu sangat bertentangan dengan niat awal dari dilahirkannya seorang anak. Dan yang seringkali melakukan tindak kekerasan terhadap anak malah dari orang terdekat anak, baik itu orang tua, anggota keluarga atau masyarakat di lingkungan tumbuh kembang anak. Oleh sebab itu, subjek dan lingkungan untuk pelindungan anak perlu kita urai bersama. Pertama, subjek terdekat dari anak, yakni orang tua atau wali yang membentuk lingkungan keluarga. Berkomitmen untuk menjadi orang tua atau wali dari anak memang tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen lahir dan batin untuk merawat dan mendidik anak. Menjadi orang tua pada nyatanya tidak hanya dituntut untuk sekadar memberi makan dan membesarkan anak, melainkan juga berkewajiban dan bertanggung jawab membimbing anak agar memiliki tumbuh kembang yang baik secara mental dan spiritual. Komitmen lahir dan batin tersebut diperlukan sebab seringkali kekurangan atau kelebihan dalam hal materi memberikan dampak negative terhadap kondisi psikis orang tua. Sebagai contoh, pada kebanyakan kasus kekerasan terhadap anak dari orang tua, kondisi kekurangan secara materi dapat berakibat pada emosional orang tua yang labil sehingga mudah tersinggung apabila anak bertingkah rewel atau tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Begitupun kondisi berlebih secara materi yang tidak jarang menjadikan lalai dan membiarkan anak hidup dengan sekedar materi tanpa ada pendidikan moral-spirital. Dua kondisi tersebut sama-sama dapat menjadi penyebab anak mencari lingkungan di luar rumah untuk aktualisasi diri, sehingga anak menjadi rentan mendapat kekerasan di luar rumah karena salah pergaulan. Oleh karenanya, pembangunan interaksi antara orang tua dan anak menjadi penting untuk diperhatikan. Melihat posisi anak dengan segala aktifitasnya maka orang tua dituntut untuk dapat memposisikan diri tidak hanya sebagai orang tua, melainkan juga sebagai teman bermain dan berbincang atau bertukar pikiran. Pembangunan interaksi yang demikian diharapkan dapat membangun hubungan yang lebih saling memahami antara keduanya (tidak hanya menuntut anak untuk memahami orang tua, tapi juga sebaliknya) sehingga dapat meminimalisir tindak kekerasan terhadap anak. Dalam konteks subjek dan lingkungan pertama ini memang tidak mudah untuk memberikan justifikasi atau penghakiman secara sepihak. Selain karena latar belakang dari setiap orang tua yang tidak semua sama, juga kondisi anak yang tidak dapat diperbandingkan antara satu dengan yang lainnya. Meski demikian, yang perlu diingat bersama oleh kita selaku orang tua adalah komitmen awal dari kesanggupan untuk memiliki anak. Meminjam istilah orang Jawa yaitu “yen wani nggawe kudu wani ngopeni” (kalua berani membuat harus berani merawat) sebagai wujud kasih sayang terhadap anak. Kedua, masyarakat dan lingkungan sosial anak. Subjek dan lingkungan kedua ini menjadi ruang yang rawan terhadap anak apabila tidak mendapatkan pengawasan yang baik dari orang terdekatnya. Bahkan termasuk di dalam ruang lingkup ini adalah sekolah, tempat pendidikan anak. Pada nyatanya, kekerasan terhadap anak juga muncul dari teman sebayanya. Baik itu dalam bentuk kekerasan fisik ataupun kekerasan psikis berupa bullying dan intimidasi. Pada bentuk kekerasan yang muncul dari teman sebayanya masih dapat ditanggulangi dengan memberikan pendidikan secara korektif dan interospektif dari masing-masing orang tua anak. Yang dimaksudkan pendidikan korektif dan interospektif dalam hal ini adalah tentang bagaimana anak dididik oleh orang tuanya di dalam rumah tentang etika pergaulan, yang itu harus dicontohkan dalam sikap-sikap keseharian orang tua. Sebab anak lebih pandai untuk meniru dari pada menghafalkan. Namun, persoalan selain bullying dan intimidasi adalah human trafficking dan kekerasan seksual dari orang-orang yang tidak dikenal di luar rumah. Pada ruang inilah kemudian peran segenap masyarakat, pemerintah, penegak hukum dan semua stakholder yang ada sangat dibutuhkan untuk menjaga anak-anak. Anak merupakan “asset” bangsa yang harus dijaga bersama dengan sepenuh hati. Bagaimana kondisi bangsa ke depan sangat tergantung pada bagaimana kita semua saat ini mendidik dan melindungi anak-anak kita semua. Dalam sudut pandang ini maka yang harus disadari bersama adalah bahwa anak dari setiap orang tua di republik ini adalah anak kita juga yang harus saling dijaga bersama. Secara struktural, pemerintah, melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 telah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk melakukan upaya pencegahan, pengurangan risiko, dan penanganan kasus kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran pada anak. Termasuk di Pemprov Jawa Tengah yang saat ini dalam proses membahas Raperda Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen dari legislatif dan eksekutif Provinsi Jawa Tengah dalam perlindungan anak dari tindak kekerasan. Undang-undang ataupun Perda yang mengikat setiap individu di dalamnya, pada dasarnya merupakan acuan dalam skala yang lebih luas untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak di setiap ruang di republik ini. Sehingga setiap anak yang lahir dan hidup di republik ini memiliki lingkungan yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan berkembang, di dalam rumah maupun di luar rumah.   Sinergitas Perlindungan Anak Program Keluarga Berencana (KB) yang telah dibuat oleh pemerintah melalui UU Nomor 10 tahun 1992 demi menciptakan kemajuan, kestabilan, dan kesejahteraan ekonomi, sosial, serta spiritual setiap penduduknya nampaknya perlu untuk mendapatkan reorientasi. Reorientasi yang dimaksudkan adalah program tersebut tidak hanya ditujukan untuk pembatasan jumlah kelahiran, melainkan juga mencakup perencanaan berkeluarga, sejak sebelum menikah dan saat berumah tangga. Dengan demikian maka program KB memiliki cakupan yang lebih luas untuk menyiapkan setiap individu di negeri ini dalam hal berkeluarga. Reorientasi ini hanya perlu dilakukan dengan cara mensinergiskan program-program dari lembaga-lembaga terkait. Tidak hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi juga Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Agama, bahkan termasuk juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sinergitas dari masing-masing lembaga tersebut menjadi perlu sebab sebagaimana telah diulas di atas, bahwa keluarga dan masyarakat memiliki peran dalam melindungi atau melakukan kekerasan terhadap anak. Dan faktor-faktor pemicunya diantaranya adalah persoalan ekonomi dan kesejahteraan, psikologi dan kesehatan (alasan untuk mencegah pernikahan dini), dan tingkat pendidikan masyarakat. Selain dari pada lembaga-lembaga negara tersebut, secara personal setiap individu juga harus menyadari bahwa memberikan kasih sayang terhadap anak adalah lebih baik baik dari pada memberikan kekerasan. Seperti merawat pohon, apabila dirawat dengan penuh kasih sayang maka segala kesulitan dalam merawatnya akan dijalani, hingga pohon tersebut dapat tumbuh dengan sehat dan menghasilkan buah yang dapat dipetik. (*)   *) Penulis adalah Anggota Pansus Raperda Perlindungan Anak dari Fraksi Gerindra DPRD Jateng

Baca Juga

Komentar