Aktivis Difabel Serahkan DIM sebagai Masukan Raperda Disabilitas Provinsi Jateng

Para aktivis difabel saat berfito bersama. (MURIANEWS/Istimewa)
MURIANEWS, Semarang – Sejumlah aktivis difabel yang tergabung dalam Jaringan Kawal Jateng Inklusi (Jangka Jati), menyerahkan Daftar Isian Masalah (DIM) sebagai masukan substansi rancangan peraturan daerah (Raperda) baru Provinsi Jawa Tengah tentang Pelaksanaan Pemenuhan Hak Disabilitas.
Jangka Jati sudah menyerahkan DIM tersebut, kepada sejumlah pihak terkait, termasuk Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Tujuh orang aktivis difabel yang mewakili Jangka Jati, Didik Sugiyanto (KSD-Roemah D), Sunarman Sukamto (KSP & PPRBM Solo), Edi Satya (DPD Pertuni Jateng), Sugeng (PPDI Jateng), Lani Setyadi (Yayasan Autisma Yogasmara), Mahendra Teguh (Gerkatin Semarang), dan Laili Nurillahi (PPDI Kota Semarang).
Dalam kesempatan tersebut para aktivis memberikan konteks situasi dan kondisi lokal Jawa Tengah terkait masalah, tantangan dan harapan pelaksanaan pemenuhan hak difabel di Jawa Tengah.
Menurut Didik Sugiyanto, DIM yang disampaikan ini berasal dari masukan para pegiat hak difabel semua ragam difabilitas dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pihaknya berharap, Perda baru nanti bukan hanya mencakup penanganan masalah tetapi juga aspek pencegahan terjadinya difabilitas seperti pencemaran lingkungan, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, stunting atau gizi buruk, pemyakit degenerative dan sebagainya.
“Jadi DIM itu merupakan masukan-masukan dari semua ragam disabilitas yang ada di Jawa Tengah,” ujar Didik Sugiyanto, Kamis (4/3/2021).
Sementara Edy Satya dari Pertuni Jawa Tengah menyampaikan bahwa cara pandang penyelenggara pelayanan publik dan pemerintahan selama ini masih terkesan belas kasihan. Ke depan, pihaknya berharap Perda yang baru ini akan bisa mengubah cara pandang tersebut menjadi human right dan sosial model. Cara pandang ini sangat mendasar karena menciptakan atmosfir yang bisa dirasakan oleh kalangan difabel.
Pada kesempatan yang sama, Laili Nurilahi dari PPDI Kota Semarang menyampaikan pentingnya ada afirmasi dan akomodasi yang layak dalam bidang perekrutan dan penempatan tenaga kerja difabel di sektor formal.
Misalnya tingkat pendidikan dari minimal SMA menjadi SMP, dari usia dari maksimal 35 tahun menjadi 40 tahun, dan juga dari proses assessment harus sudah sesuai dengan kebutuhan khusus dari calon tenaga kerja; misalnya kalau calon tenaga kerja tersebut tuli, maka dibutuhkan seorang penterjemah isyarat.
“Memang ada tantangannya, yakni masih terbatasnya jumlah penterjemah isyarat yang masih terbatas. Namun dengan adanya Perda ini, kami berharap bisa memberikan dukungan agar lebih banyak tersedia penterjemah isyarat nantinya,” ujar Laili Nurilahi.
Sementara itu Sunarman Sukamto dari PPRBM Solo, menyampaikan bahwa pelaksanaan pemenuhan hak difabel membutuhkan sebuah payung hukum yang kuat, komprehensif dan implementatif. DIM yang disampaikan, merupakan kumpulan berbagai masukan situasi dan kondisi faktual dan aktual yang dihadapi oleh para difabel sehari-hari dari seluruh kabupaten dan kota se Jawa Tengah.
“Inisiatif untuk mengumpulkan berbagai masukan tersebut adalah wujud adanya rasa memiliki dan niat memberikan kontribusi agar Perda baru Jawa Tengah benar-benar menjadi payung hukum yang mampu melindungi dan memenuhi hak-hak difabel di semua bidang, khususnya bidang pemenuhan hak dasar, misalnya kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, aksesibilitas, dan perlindungan hukum,” tegas Sunarman Sukanto, dalam kesempatan yang sama.
Reporter: Budi Erje
Editor: Supriyadi