Kamis, 28 Maret 2024

Legenda Api Abadi Mrapen Grobogan, Berawal dari Tancapan Tongkat Sunan Kalijaga

Dani Agus
Sabtu, 3 Oktober 2020 15:12:02
Lokasi apai abadi Mrapen di Grobogan. (MURIANEWS/Dani Agus)
MURIANEWS, Grobogan - Keberadaan objek wisata Api Abadi Mrapen Grobogan sudah dikenal luas hingga ke manca negara. Hal ini seiring adanya prosesi pengambilan api obor untuk even olahraga maupun ritual keagamaan. Lokasi ini belakangan jadi perbincangan lantaran api abadi tersebut tiba-tiba padam. Meski namanya makin dikenal, namun tidak semua orang tahu tentang latar belakang api abadi di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong itu. Dari kisah legenda yang diceritakan turun temurun, lokasi Api Abadi Mrapen ini tidak bisa dilepaskan dari sosok Sunan Kalijaga dan salah satu muridnya yang bernama Empu Supo. Konon ceritanya, lokasi tersebut dulunya merupakan tempat kerja Empu Supo untuk membuat keris-keris pusaka. Asal usul terjadinya Api Abadi Mrapen ini juga ditulis di website resmi Pemkab Grobogan yang beralamat di www.grobogan.go.id. Dalam laman ini dikisahkan, pada akhir Majapahit, berdirilah kerajaan Demak yang didirikan Raden Patah dibantu oleh para Wali dan guru agama. Akhirnya oleh Prabu Brawijaya, Raden Patah diizinkan dan bahkan diangkat menjadi bupati di Bintara Demak pada tahun 1503. Kemajuan Bintara sangat pesat dan pengaruhnya sampai menyusup ke daerah Majapahit. Beberapa bangsawan Majapahit sudah mulai masuk Islam. Tahun 1.509 Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak dengan Gelarnya Sultan Jimbun Ngalam Akbar atau Panembahan Jimbun. Dia memerintah sampai tahun 1518 dan digantikan oleh Adipati Unus (1518 – 1521). Usaha penaklukan Majapahit baru terlaksana pada tahun 1525, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Trenggono (1521 – 1546 ). Dengan keruntuhan Majapahit tahun 1525, maka kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa menjadi penguasa tunggal. Sedang sisa-sisa penguasa Majapahit yang tidak mau tunduk ke Demak memindahkan pusat kerajaannya ke Sengguruh. Ada pula yang menyingkir ke Ponorogo dan lereng Gunung Lawu. Setelah Raden Patah menjadi raja dia mulai menata wilayah kerajaan. Kota Demak dijadikan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa. Sebagai lambang negara Islam dibangunlah sebuah masjid Agung yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Ekspedisi pemboyongan dipimpin oleh Sunan Kalijaga tampak berjalan lancar. Setelah sampai di Mrapen mereka merasa sangat lelah. Kemudian rombongan itu beristirahat di situ. Karena tidak ada air untuk minum, maka Sunan Kalijaga bersemedi memohon kepada Tuhan diberi air untuk minum para pengikutnya. [caption id="attachment_196632" align="aligncenter" width="880"] Sendang yang digunakan Empu Supa untuk membuat keris pesanan Sunan Kalijaga. (MURIANEWS/Dani Agus)[/caption] Tongkatnya ditancapkannya ke tanah, kemudian dicabutnya. Tetapi yang keluar bukan air namun api yang tidak dapat padam (Api Abadi). Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen. Kemudian di tempat lain dilakukan hal yang sama dan keluarlah pancuran air yang jernih, yang dapat diminum. Demikian rombongan itu minum dan setelah hilang lelahnya mereka melanjutkan perjalanannya ke Demak. Sesampainya di Demak barang-barang yang dibawa diteliti. Baca: Waduh! Api Abadi Mrapen Grobogan Sudah Sepekan Padam Ternyata ada yang ketinggalan di Mrapen, berupa sebuah ompak (alas tiang). Sunan Kalijaga menyatakan ompak itu tidak perlu diambil sebab nantinya akan banyak gunanya. Batu ompak itu kemudian dikenal dengan Watu Bobot. Suatu ketika Sunan Kalijaga mengajak Jaka Supo pergi ke hutan mencari kayu jati yang cocok untuk dibuat "Saka Guru“ Masjid Agung Demak. Jaka Supo adalah putra Tumenggung Empu Supodriyo, seorang Wedana Bupati Empu (tukang membuat alat perang dari besi) di Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu Jaka Supa sendiri telah menjabat sebagai jajar Empu walaupun dia abdi Majapahit, tetapi dia telah belajar agama Islam pada Sunan Kalijaga. Selama Sunan Kalijaga mengembara di hutan mencari kayu tersebut, dia berjumpa dengan Dewi Rasa Wulan yang sedang “Tapa Ngidang“. Dewi Rasa Wulan sebenarnya adalah adiknya sendiri yang lari dari Kadipaten Tuban, karena ditawari untuk menikah tidak mau. Oleh Sunan Kalijaga, Dewi Rasa Wulan diajak ke Tuban. Di Tuban dia dikawinkan dengan Jaka Supa. Pada suatu pagi, ketika Jaka Supa yang telah bernama Empu Supa “Memadai” (bahasa Jawa : Mandhe) membuat keris, datanglah Sunan Kalijaga untuk minta kepada Jaka Supa membuat sebuah keris yang baik. Sunan memberinya bahan berupa besi sebesar biji asam (sak klungsu) Jaka Supa heran, dapatkah besi yang sekian besarnya dapat dibuat keris? tetapi setelah dipegang ternyata besi itu sangat berat dan berubah menjadi sebesar Gunung. Empu Supa sangat takut kepada Sunan Kalijaga, maka apa yang menjadi perintah Sunan Kalijaga dikerjakan. Sunan Kalijaga memerintahkan supaya keris dibuat di Mrapen. Maka Empu Supa pergi ke Mrapen membuat keris tersebut. Untuk pembakarannya digunakan api abadi. Watu Bobot digunakan sebagai landasannya. Sedang air sendang juga digunakan sebagai penyepuhnya. Aneh, air yang tadinya jernih setelah dipakai untuk menyepuh keris berubah warna menjadi kuning kecokelat-cokelatan sampai sekarang.   Reporter: Dani Agus Editor: Ali Muntoha

Baca Juga

Komentar