Jumat, 29 Maret 2024

Ramadan di Mata Orang Asing

Murianews
Minggu, 10 Mei 2020 06:00:19
Ilustrasi (Freepik)
[caption id="attachment_181865" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] BAGI muslimin yang taat, terdapat satu bulan dalam setahun yang aktivitasnya mewarnai pemberitaan media massa di Indonesia yakni bulan Ramadan. Andre Moller ilmuwan asing pun tertarik menelaah Ramadan di Jawa. Ia ahli sejarah agama yang lahir di Jonstorp Swedia 1975. Pada 1999 ia belajar di Universitas Negeri Yogyakarta selama tiga tahun. Disertasinya di Universitas Lund Swedia berjudul Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting. Riset tersebut sebagai bentuk respon orang Barat tatkala berbulan Ramadan di Jawa. Sebagai non-muslim, Moller menemukan sesuatu yang dianalisisnya. Bulan Ruwah sebagai bulan persiapan menyongsong Ramadan dengan tradisi bersih lingkungan, nyekar di makam leluhur, adanya tradisi khas yang bergeser menjadi pasar publik (Dugderan di Semarang, Dandangan di Kudus), pemasangan spanduk menyongsong Ramadan. Adapun di bulan Ramadan, orang yang puasa beramal/bersedekah secara maksimal sehingga para pengamen memanfaatkan peluang untuk mendapatkan rezeki, biaya hidup pada bulan Ramadan meningkat sehingga pegadaian dijadikan alternatif mendapatkan dana, toko yang menjual sajadah, al-Quran, CD/kaset mengaji, mukena laris, penjualan petasan meningkat, mentradisikan kontroversi penentuan 1 Ramadan yang lama kelamaan masih belum dianggap hal biasa, salat tarwih yang semula diduga Moller sebagai sumber persatuan umat Islam. Tapi kenyataannya terdapat perselisihan dalam jumlah rekaat salat, adanya tradisi membaca al-Quran di malam Ramadan (tadarus), iktikaf di tempat ibadah, adanya lailatul qadar, perbedaan penentuan 1 Syawal, tradisi mudik, takbiran, salat Idul Fitri, dan anjangsana (halalbihalal). Mengapa Ramadan ‘seksi’ untuk ditelaah?. Menurut penulis, pertama, kaum muslimin ekstra-sibuk beraktivitas ibadah wajib dan sunah karena secara teologis, ibadah di bulan Ramadan pahala dilipatgandakan (penuh dengan bonus). Padahal, bila merujuk pesan para sufi, janganlah bersandar pada amalmu dalam ibadah, tapi bersandarlah pada Tuhanmu (ikhlas). Ciri orang ikhlas (mukhlis) bila beribadah tak bertendensi mendapat apa, berapa pahalanya?. Tapi, ada atau tidak adanya pahala, tidak pokok, yang penting ngabekti marang Gusti dengan yakin Gusti iba pada hamba. Bila jiwa ikhlas ini tertanam dalam hati setiap muslim yang beribadah (apa pun) tidak mungkin ibadahnya ‘disuarakan’ hingga terdengar publik (rentan tak ikhlas, ibadah muspro). Dentuman speaker pada malam Ramadan dengan dalih syiar, ibadah membaca ayat al-Quran sejak menjelang berbuka, seusai tarawih, menjelang sahur (tarkhim), setelah salat subuh, ada yang lebih beda lagi, usai Salat Zuhur selalu gemlantang tak akan terulang lagi bila pelakunya ikhlas beribadah. Jadi, speaker tak pernah istirahat demi syiar?. Syiar Islam era milenial tidak sama dengan era petromak. Kedua, aktivitas ibadah sunah pada Ramadan tapi menyedot perhatian media massa dengan pendekatan budaya khas. Ketiga, pengembangan aktivitas ibadah sunah di bulan Ramadan –meski status hukumnya sunah- menjadi pewarna khas Ramadan, seperti tadarus al-Quran. Keempat, daya magnet Ramadan direspon dengan antusias oleh umat. Kelima, kondisi tersebut dijadikan peluang bisnis oleh produsen dengan ragam kebutuhan direspon pula yang merayakan Idul Fitri. Dengan demikian, biaya hidup (perut oriented) pun makin meningkat, meski siang hari tidak mengonsumsi apa pun. Dalihnya, menyerupai Nabi dalam berbuka sehingga (harus) kurma?. Kemudian makannya tanpa bersendok?. Bila bersendok pelaku bid’ah? Menyederhanakan pemaknaan bid’ah itulah persoalan kian rumit. Ada bid’ah atau tidaknya, ternyata tergantung kebutuhannya!. (*)   *) Penulis adalah dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar