Jumat, 29 Maret 2024

Memaknai Pelestarian Tradisi Ceng Bheng

Murianews
Senin, 6 April 2020 10:56:35
Tradisi Ceng Bheng Keluarga Tionghoa di Indonesia. (Istimewa)
[caption id="attachment_181865" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] SETIAP agama mengajarkan peribadatan sebagai wujud hubungan vertikal hamba pada Tuhan dan  memiliki hari besar agama. Khonghucu memiliki hari besar di antaranya tiap tanggal 4/5 April disebut Hari Sadranan (Qing Ming Jie/Ceng Bheng). Etnis Tionghoa di negara mana pun kokoh melestarikan tradisi leluhurnya tersebut. Tujuan utamanya membersihkan makam leluhur, mengenang jasanya, dan mengeratkan persaudaraan dengan yang hidup untuk bersama ke kubur leluhur. Menu makanan yang dibawa ke makam berupa buah-buahan (pisang, semangka, apel, jeruk, pir, dll) dan kue (wajik, moho, miku). Wajik perlambang kebaikan, moho perlambang kelancaran rezeki, miku agar panjang umur dan sehat. Rangkaian acaranya, menata sesajen, doa bersama, tabur bunga dan membakar kertas perak (ucapan sujud syukur sembahyangan sudah usai) diakhiri makan bersama di makam, bila tak habis dikonsumsi dibawa pulang. Makanan mengandung doa restu dari leluhur. Festival Qingming (dalam bahasa Hokkian Ceng Bheng) sebagai ritual tahunan etnis untuk berziarah di kubur pada hari ke-104 seusai titik balik matahari pada musim dingin atau hari ke-15 (hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi) lazimnya pada 4/5 April tahun kabisat. Nama Qīngmíng penanda waktu menikmati hijaunya musim semi dan berziarah kubur. Hari itu sebagai hari libur di Tiongkok, Hongkong, Macau, dan Taiwan. Prinsip dasarnya laku bakti (Xiao), hormat, dan memuliakan orangtua/leluhur dan selaras pada Tian (Tuhan). Tatkala orangtua hidup dilayani dengan baik, bila wafat dimakamkan dengan bajik, disembahyangkan dengan susila, dan diperingati. Ingat! Era Orde Baru dikekang dengan Inpres Nomor 14/1967 tentang Pelarangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina yang dicabut pada masa presiden Gus Dur dengan Inpres Nomor 6/2000 tanggal 17 Januari 2000. Gus Dur berharap, tradisi dan agama tersebut dilanggengkan. Masihkah berdalih tak melestarikan tradisi?.   Hubungan si Mati dengan si Hidup Dalam Islam, hubungan keduanya masih konek, ada tiga perbuatan/amal yang pahalanya masih bersinambung (meski yang berbuat telah wafat). (1) bersedekah/beramal jariyah, (2) ilmu si mati yang bermanfaat bagi si murid, (3) doa anaknya yang salih. Jadi, perpisahan si mati dengan si hidup hanya secara fisik, beda alam kehidupan. Muslim Jawa pun masih mentradisikan ziarah kubur mingguan (Kamis sore atau Jumat pagi), tahunan yakni menjelang Ramadan (nyadran) dan akhir Ramadan (menjelng 1 Syawal). Semoga kita menjadi pelestari tradisi mikul duwur mendem jero ajaran leluhur, tidak gumingsir diterpa milenia. Hanya saja, masa wabah corona kini, kita harus menaati Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona dengan tak mengadakan kegiatan keagamaan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak. San chai/san zhai (semoga doa kita terkabulkan). Nuwun. (*)   *) Pegiat Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan, Dosen IAIN Kudus

Baca Juga

Komentar