Jumat, 29 Maret 2024

Budaya Korup

Murianews
Rabu, 18 Maret 2020 10:41:37
Ilustrasi
[caption id="attachment_182320" align="alignleft" width="150"] Hamam Fitriana *)[/caption] “Semua ada yang berkepentingan, makanya tidak bisa dihilangkanBEGITULAH seseorang berkomentar mengenai tulisan Agus Triyono di kolom opini MURIANEWS yang bertema “(Masih) Ada Korupsi Pembuatan SIM, Sampai Kapan?” yang dibagikan ke media sosial Fecebook. Rasa kesal, bahkan sedih saat melihat kejadian, tulisan, video, atau bahkan omongan-omongan ihwal perilaku korup yang masih mewabah di negeri ini. Siapa yang tidak kesal dan sedih melihat perilaku korup yang berseliweran di institusi pemerintah seperti saat akan membuat SIM. Bacalah tulisan Agus Triyono yang bernas saat melihat fenomena praktik “main tembak” dalam pembuatan SIM. Fenomena main tembak yang disebut Agus Triyono ini sebagai malpraktik SIM dapat dikatakan juga sebagai budaya korup. Budaya korup yang mengakar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa di era reformasi ini, tidak lepas dari bayang-bayang Orde Baru (Orba). Kekuasaan Orba yang hidup sangat lama yakni 32 tahun, telah menggiring tatanan masyarakat yang cenderung materialistik dan hedonis. Sehingga nafsu memburu materi menjadi orientasi yang menjadi-jadi di masyarakat. Mereka yang punya kuasa bertendensi melakukan rekasayasa tatanan hidup untuk sekadar mendapatkan keuntungan materi (materialistik) sebanyak mungkin supaya dapat menikmati kesenangan (hedonis). Dari perilaku materialistik dan hedonis inilah, melahirkan budaya korupsi dan perilaku-perilaku immoral lainnya yang acap kali tumbuh subur di masyarakat. Materialistik dan hedonis penguasa secara tidak sadar telah mewabah dalam praktik-praktik kehidupan rakyat. Para pedagang yang culas hanya untuk mendapat laba banyak, para kontraktor berbuat kongkalikong hanya untuk memenangkan tender, para pengusaha menyuap aparat hanya untuk memuluskan bisnis, dan banyak politisi yang korupsi hanya untuk kepentingan sendiri atau golongannya. Itulah gambaran serpihan-serpihan era Orba yang masih terasa kentara hingga saat ini. Praktik-praktik itulah yang ikut melanggengkan budaya korup tumbuh subur, seperti hanya fenemona “main tembak” saat membuat SIM.   Revitalisasi Reformasi Perilaku ekses terhadap materi cenderung membuat seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan segala sesuatu. Akibat ekses terhadap materi dan segala yang duniawi inilah kemudian muncul keserakahan, kebahkhilan, apatis dan sifat-sifat immoral lain yang acap kali menindas orang lain. Gila akan materi yang melahikan perilaku korup dan penindasan tentulah kontradiktif dengan tujuan reformasi yang ingin memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar sesuai Pancasila dan UUD 45. Tatanan lama yakni era Orba yang materialistik dan condong keduniawian perlu diperbarui dengan tatanan baru yakni memberikan ruang relegius dalam sendi-sendi berbangsa. Yang mana perilaku mengedepankan akhlak atau karakter dalam memperoleh materi perlu dikedepankan. Fondasi akhlak yang merupakan representasi dalam nilai-nilai beragama sangatlah tepat untuk dihidupkan. Apalagi secara sosial-kultural agama dan Pancasila telah menyatu yakni semua sila dalam Pancasila memuat nilai-nilai agama. Mari menghidupkan akhlak atau dalam dunia pendidikan dikenal dengan karakter yang dimulai dari diri sendiri. Berusaha dengan sekuat tenaga memperbaiki diri sendiri untuk tidak ikut membudayakan perilaku korup dan menindas. Semisal saat ada kepentingan dalam berbagai urusan bisa berhenti menyogok, saat berdagang atau berusaha berhentilah menipu, saat berpolitik berhenti oportunis, dan seterusnya. Dengan demikian, diri sendiri telah berusaha membantu tercapainya tujuan reformasi. (*)   *) Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan aktif di Rumah Kearifan (House of Wisdom)

Baca Juga

Komentar