Jumat, 29 Maret 2024

Harga Jatuh, Petani Garam Jepara Terancam Berproduksi dengan Sistem Bio Membran

Budi Santoso
Senin, 2 Maret 2020 16:43:11
Petani di Jepara tengah memanen garam. (MURIANEWS.com/Budi Erje)
MURIANEWS, Jepara - Harga garam yang rendah saat ini memberi tekanan berat bagi para petani garam di wilayah Jepara. Saat ini, harga garam di Kota Ukir berkisar di angka Rp 400/kg untuk kualitas 1 dan Rp 360/kg untuk kualitas 2. Harga ini bahkan sudah berlaku untuk garam yang sudah berada di atas truk. Tokoh petani garam di Desa Panggung, Kecamatan Kedung, Jepara, Abdul Lafik menyatakan, di tingkat petani harga hanya Rp 300/kg (kualitas 1) dan Rp 260/kg (kualitas 2). Selisih harga tersebut adalah biaya angkut dan sak untuk dibawa ke atas truk. Harga yang rendah ini menurut Abdul Lafik berlangsung sejak 2017 lalu. Pada 2017  harga garam masih sangat bagus hingga mencapai Rp 3000-an per kilogramnya. Namun pada 2018 hargannya merosot menjadi Rp 500 – Rp 600/kg. Memasuki 2019 harga garam semakin menukik hingga saat ini menjadi hanya Rp 360/kg – Rp 400/kg. Abdul Lafik dengan tegas menyatakan, terpuruknya harga garam lantaran kebijakan pemerintah membuka kran impor disalahgunakan oleh para pelaku bisnis garam. Tahun ini garam impor diizinkan untuk didatangkan sampai dalam jumlah 2,9 juta ton. Kuota ini naik dibanding tahun 2019 lalu yang diijinkan sampai 2,7 juta ton. “Kami melihat, kebijakan inilah yang membuat harga garam produksi petani Indonesia mengalami kehancuran harga. Harga yang sudah rendah tahun lalu membuat petani lebih banyak menyimpan hasil panennya. Saat ini masih banyak garam yang disimpan, dan Mei nanti kita sudah masuk musim produksi lagi. Lalu bagaimana nanti hasilnya, mau dijual kemana kami juga belum tahu,” ujar Abdul Lafik, Senin (2/1/2020). Kebutuhan garam untuk nasional sendiri diperkirakan antara 4 - 4,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi garam nasional mencapai 2,5 ton. Dari selisih jumlah tersebut, seharusnya memang tidak perlu ada masalah. Namun persoalan yang muncul, import garam yang katanya untuk kebutuhan industri, pada kenyataannya juga diduga diolah untuk garam konsumsi. Rendahnya harga garam saat ini, menurut Abdul Lafik juga berpotensi menimbulkan masalah pada proses produksi para petani. Selama ini di Jepara hampir 80 persen petani garam sudah menggunakan sistem bio membran dalam proses produksinya. Sehingga hasil yang didapatkan merupakan garam kualitas 1. Namun jika harga yang terbentuk masih rendah seperti saat ini, maka tahun berikutnya para petani kemungkinan tidak bisa lagi membiayai produksi dengan sistem bio membran. “Kalau harga masih seperti saat ini, banyak petani kemungkinan tidak bisa membeli membrane untuk produksi. Harga 1 roll membrane dengan ukuran 50 x 4 m setebal 2,5 mikron adalah Rp2,5 juta. Sementara untuk satu hektar tambak dibutuhkan sekitar 12 roll, sehingga butuh Rp28 juta. Hasil satu hektar dalam semusim sekitar 100 ton, maka dengan harga hanya 300 didapatkan Rp30 Juta. Habislah hasil panen itu untuk beli membrannya. Belum tenaganya dan ongkos pengangkutannya,” keluh Abdul Lafik. Para petani garam di Jepara sendiri berharap pemerintah bisa memberikan perhatian pada masalah ini. Para petani berharap harga bisa membaik hingga angka paling rendah Rp600/kg. Sehingga keberlangsungan produksi mereka masih bisa terjaga.   Reporter: Budi Erje Editor: Supriyadi

Baca Juga

Komentar