Jumat, 29 Maret 2024

Catatan Kecil Plagiarism dan Korupsi

Murianews
Selasa, 25 Februari 2020 06:00:55
Ilustrasi (Pixabay)
[caption id="attachment_183147" align="alignleft" width="150"] Agus Triyono *)[/caption] DALAM dunia pendidikan anti-plagiarism atau antiplagiat sudah sering diperbincangkan. Bahkan sudah wajib dilakukan untuk kelengkapan sebuah karya ilmiah. Plagiarism adalah merupakan tindakan menjiplak ide, gagasan atau karya orang lain  untuk  diakui  sebagai  karya  sendiri  atau  menggunakan  karya  tanpa menyebutkan sumbernya sehingga menimbulkan  asumsi  yang salah  atau keliru mengenai asal muasal dari suatu ide, gagasan atau karya. (Soelistyo,2011). Dalam regulasi, sebenarnya plagiarism sudah sangat jelas digambarkan dalam undang-undang plagiarism. Salah satunya yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam  undang-undang tersebut disebutkan bahwa plagiat merupakan tindakan pidana yang dijelaskan dalam pasal 72 ayat 1, pasal 49 ayat 1, dan 2. Bisa juga dilihat di dalam Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Republik  Indonesia  No. 17  Tahun  2010. Dalam regulasi itu disebut bahwa “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.” Di lingkup perguruan tinggi, bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti penelitian dosen, skripsi mahasiswa, pembuatan buku, referensi, buku ajar, jurnal atau karya karya yang lain yang mendukung karya intelektual. Seberapa persentase plagiasi seseorang dapat dilihat melalui verifikasi sebuah karya dengan melakukan pengecekan melalui sistem atau aplikasi yang saat ini bisa kita peroleh dengan mudah. Melalui aplikasi itulah kemudian kita dapat menemukan berapa persentase plagiasi kita, dan sumbernya dari mana sudah terlihat dengan jelas. Namun demikian, setiap institusi atau editor memiliki kebijakan tersendiri dalam menentukan besaran persentase untuk plagiarism. Ada batasannya, relatif antara 10-25 persen, atau mungkin kurang lebihnya di angka itu. Sebagai contoh skripsi atau tugas akhir, setiap lembaga pendidikan memberikan toleransi yang berbeda-beda soal plagiarism, bisa sekitar 20  persen. Namun, bisa juga pada institusi yang lain akan menggunakan  dengan nilai yang berbeda, tergantung kebijakan mereka. Pada sektor yang lain, misalnya dalam penerbitan buku. Editor biasanya sudah menentukan bahwa untuk mengirimkan sebuah artikel diwajibkan bahwa angka plagiasi dengan kisaran angka tertentu harus dilampirkan. Masih banyak contoh terkait dengan plagiasi dalam bentuk-bentuk yang lain. Contoh di atas hanyalah bagian kecil tentang plagiarism dalam dunia pendidikan. Terpenting adalah sebuah karya ilmiah itu memiliki rambu-rambu yang jelas sebelum karya itu dipublikasikan secara luas.   Plagiat versus Korupsi Kalimat ini tentu mengandung makna yang sangat mendalam. Apa hubungan plagiat dan korupsi. Bagaimana seseorang yang melakukan plagiat bisa dikatakan korupsi?. Menurut saya ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan. Kita masih ingat, beberapa waktu ini salah seorang rektor di perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa Tengah diduga melakukan plagiasi atas karya skripsi mahasiswanya. Hal itu ditulis dengan gamblang oleh sebuah media online serad.id. Media ini mengupas secara detail tentang praktik plagiarism itu dan kemudian menjadi konsumsi publik. Tidak hanya itu, kasus ini kemudian berkembang dan menimbulkan efek pada banyak aspek, termasuk aspek hukum. Kasus tersebut mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus lain dari plagiat yang ramai dibicarakan publik. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana jika plagiarism itu dilakukan oleh seorang intelektual dengan jenjang akademik tertinggi yakni profesor seperti ditulis dalam liputan berita tersebut. Inilah yang menarik untuk didiskusikan. Plagiarisme atau lebih familiar dengan kata menjiplak merupakan aib bagi dunia pendidikan. Secara administratif  tentu memiliki konsekuensi karena dianggap telah melanggar aspek akademis. Tidak hanya itu, tentu sanksi moral dan sanksi sosial perlu diterapkan sehingga perbuatan tidak tersebut terjadi lagi. Sebagai pertaruhannya adalah integritas dan kredibilitas bagi si pelaku. Tidak hanya mencoreng dirinya sendiri, tetapi juga nama baik institusi tempatnya beraktivitas bekerja. Perilaku tidak terpuji tersebut, juga memberi dampak pada seluruh civitas akademika, bahkan komunitas atau organisasi yang lain. Mestinya, sebagai kalangan intelektual sudah seharusnya menjadi teladan. Paling tidak, ikut serta mengkampanyekan antiplagiarisme kepada mahasiswanya. Tetapi ironisnya, justru yang terjadi malah sebaliknya. Fenomena ini diharapkan tidak menjadi preseden buruk bagi kemajuan dunia pendidikan kita. Terpenting adalah semoga kejadian ini tidak ditiru oleh generasi-generasi berikutnya. Lantas, apa korelasinya plagiarism dengan korupsi?. Bagi seorang intelektual, membuat karya ilmiah adalah bentuk kewajiban dalam melaksanakan tugasnya. Kalau di perguruan tinggi sebagai wujud melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam mendukung kinerjanya. Membuat karya ilmiah yang berkualitas dengan tanpa plagiarism adalah tuntutan yang harus dilakukan sebagai kewajiban intelektual. Dampak dari karya-karya itu adalah peningkatan sumber finansial yang bisa juga berasal dari kas negara sebagai sumber pembiayaannya. Seseorang yang melakukan plagiarism merupakan perbuatan yang melanggar kode etik profesi, tetapi juga melanggar hukum. Sebagai insan intelektual, seharusnya menjunjung tinggi etika akademis dengan menjaga kualitas dalam menulis sebuah karya ilmiah. Jika memang mengutip pendapat orang lain, maka wajib untuk mencantumkan sumbernya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal itu merupakan bentuk penghargaan dan sebuah penghormatan bagi sang penulis, karena menulis itu bukan perkara mudah. (menurut saya) Banyak effort dan pengorbanan yang dilakukan, baik dari sisi materi, maupun nonmateri yang bisa saja tidak dapat dinilai dengan uang. Plagiarisme bagi kalangan intelektual bisa juga masuk dalam level korupsi dari sisi moral. Integritas moral menjadi hal utama dalam lingkungan akademis, termasuk dalam menjaga kualitas karya. Artinya bahwa moralitas haruslah menjadi hal yang sangat penting dalam rangka menegakkan etika akademis. Di dalam lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi sebagai institusi kaum intelektual yang notabene adalah para calon pemimpin bangsa sudah selayaknya memiliki moral yang baik tentu menjadi harapan. Oleh karenanya, lembaga ini harus mampu menunjukkan jatidirinya searah dengan kebijakan “Mas Menteri” yang baru perihal Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar. Salah satunya adalah merdeka dalam berkarya dengan menekankan kualitas karya-karya yang unggul dan mampu berkompetisi secara nasional dan internasional. Di sisi lain, mampu menciptakan output atau lulusan yang berkarakter dengan keteladanan yang baik, moral yang kuat, dan tentu saja tidak melakukan plagiarisme yang mengarah pada tindakan korupsi. Keyakinan itu ada jika ada optimisme yang tinggi. Namun perlu diingat, bahwa semua itu membutuhkan effort yang kuat. Bukan hanya sekadar semangat, keinginan, dan keyakinan saja. Tetapi lebih dari itu yakni bagaimana mengukuhkan pribadi yang memiliki integritas dan moral yang baik dilandasi dengan kepercayaan kita pada sang Khalik. Harapannya adalah gagasan yang brilian bisa saja muncul melalui karya anak bangsa, karya-karya baru, bahkan hasil penelitian baru yang berkontribusi besar pada peningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Inilah yang bisa jadi menjadi garis besar dari catatan ini. Paling tidak kita berharap ada perubahan signifikan atas berbagai peristiwa demi peristiwa yang terjadi, sehingga melecut kita semua untuk mampu berkarya berdasar pada konteks akademis, patuh aturan, patuh etika dan tidak melakukan plagiarisme bahkan korupsi. (*)   *) Pegiat Anti Korupsi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta

Baca Juga

Komentar