Jumat, 29 Maret 2024

Mengevaluasi Tradisi Lisan Atas Diri Sunan Muria

Murianews
Senin, 10 Februari 2020 06:00:01
Pengunjung wisata Colo mendaki tangga menuju arah Makam Sunan Muria, Kabupaten Kudus, beberapa waktu lalu. (MuriaNewsCom)
[caption id="attachment_182127" align="alignleft" width="150"] Moh Rosyid *)[/caption] UNDANG-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (PK) lahir dilatarbelakangi kesadaran kolektif anak bangsa bahwa kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa, sehingga diperlukan langkah strategis dimotori pemerintah bersama warga. PK merupakan upaya meningkatkan ketahanan budaya dengan dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan, dan dibina. PK memiliki objek berupa unsur budaya yakni tradisi lisan (TL), manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Artikel ini fokus pada TL yakni pesan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan dengan muatan tertentu. Tiap daerah memiliki TL tetapi keberadaannya perlu dievaluasi agar mencerdaskan bangsa, tidak bermuatan hoax. Artikel ini fokus pada upaya membina keberadaan TL. Tradisi lisan lazim memosisikan tokoh sentral sebagai punjer cerita yang kedudukannya menjadi penyelaras irama. Di Kudus, dikenal sosok sufi yang hidup asketis (sederhana) sekaligus sebagai pendakwah di kawasan Gunung Muria dan sekitarnya yakni Sunan Muria (Umar Said/Raden Said). Peninggalannya hingga kini berupa Masjid Muria di Gunung Muria yang sekawasan dengan makamnya. Di daerah yang berada di lereng Gunung Muria lazim tersaji TL tentang Sunan Muria. Hanya saja, tugas kita sebagai pewaris tradisi lisan perlu mengevaluasi muatan TL, apakah sahih atau abal-abal. Ada TL terkait dengan Sunan Muria yang perlu kita luruskan karena muatannya hoax. Kisah tewasnya Raden Bagus Rinengku dan Raden Ayu Dewi Nawangsih misalnya. Dua sejoli tersebut makam berduanya satu kompleks di Dukuh Masin, Desa Kandang Mas, Kecamatan Dawe, Kudus. Kekhasan makam yang hanya berdua itu, lokasinya di kawasan hutan jati yang rindang. Siapa pun yang mengambil pohonnya maka akan cilaka (celaka). Kearifan lokal ini perlu diuri-uri. Hanya saja, hal yang perlu diluruskan TL ini, dalam kisah yang dituturkan secara lisan, tanpa pijakan sumber sejarah, Raden Bagus Rinengku dan Dewi Nawangsih dalam sejarah Wali Songo tidak pernah ada. Dalam sejarah Sunan Muria pun tidak nampak, tetapi tewasnya Raden Bagus dikisahkan dengan ragam versi (sesuai selera pencerita). Tatkala diberi amanah oleh Sunan Muria untuk menjaga sawah yang sedang menguning agar dapat dipanen dan tidak dimangsa burung, tetapi Raden Bagus membiarkan burung memangsa padi yang dijaganya, sehingga Sunan Muria murka. Kemurkaannya dilampiaskan dengan melepaskan busur panah dari Gunung Muria dan mengenai dada sang Bagus, tewaslah ia. Dalam kondisi kritis itu, Dewi Nawangsih yang selama ini sebagai kekasihnya ingin mencoba menolong agar nyawa Bagus terselamatkan. Akan tetapi, ia pun tewas karena busur panah yang tertancap di dada Bagus mengenai dada Nawangsih pula. Warga yang melihat tewasnya sejoli tersebut pun disabda menjadi pohon yang kini menjelma menjadi pohon jati.   Perlunya Pelurusan Sejarah Hal yang perlu diluruskan kisah tutur yang tidak berdasarkan fakta sejarah tersebut agar tidak terjadi proses pewarian kisah turun tumurun yang naif. Pertama, tidak mungkin seorang Sunan Muria menjadi pembunuh karena karakter wali (kekasih Allah) bukan itu tabiatnya. Kedua, jati diri Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinengku sebagai sosok yang tidak pernah muncul dalam sejarah Wali Songo, khususnya sejarah era Sunan Muria. Ketiga, akibat tewasnya sejoli tersebut, makamnya diziarahi warga dari berbagai daerah untuk mengharap ‘berkah’ atau lebih gamblangnya disalahgunakan bagi mereka yang edan kadunyan. Padahal, biografi dan peran semasa hidup sejoli tersebut tidak diperoleh kejelasan perspektif sejarah. Untuk mengakhiri dagelan tersebut, guru sejarah dan ahli kisah/tutur untuk meluruskan bahwa Sunan Muria tidaklah sosok yang membunuhnya, baik sengaja atau tidak sengaja. Akan tetapi, kisah tersebut murni dongeng yang membawa nama besar Sunan Muria agar laku dijual, meski terjadi ‘pencemaran’ nama baik Sunan Muria karena kisah yang sebatas kisah dan nihil fakta. Semoga dengan ‘gugatan’ ini. Publik makin dewasa dalam menerima TL yang kebenarannya perlu mendapat legalitas dari sejarawan. Nuwun. (*)   *)Dosen IAIN Kudus ([email protected])

Baca Juga

Komentar