Jumat, 29 Maret 2024

Gelisah Petani Kopi di Pati, Tak Punya Kemerdekaan Tentukan Harga

Cholis Anwar
Sabtu, 24 Agustus 2019 11:39:48
Petani kopi sedang memetik biji kopi di lahan miliknya. (MURIANEWS.com/Cholis Anwar)
MURIANEWS.com, Pati - Bagi sebagian besar petani kopi di Pati, saat ini tengah gelisah. Harga kopi terus anjlok memasuki musim panen raya. Mereka tak punya kuasa menentukan harga jual. Semua ditentukan oleh pasar. Bahkan tak jarang pula tengkulak juga punya andil besar dalam mempermainkan harga. Sehingga, petani hanya bisa pasrah. Hal itulah yang disarakan oleh sebagian besar petani kopi di Kabupaten Pati. Meski sudah bersusah payah merawat dan memupuk kopi, tetapi mereka tetap tidak bisa menentukan harga jual. Sumijan (64) petani kopi dari Dukuh Jurang, Desa Sitiluhur, Kecamatan Gembong, Pati, mengakui hal itu. Menurut dia, mulai 1994 sejak dirinya bergelut di budidaya kopi, hingga saat ini dia tidak bisa menentukan harga jual. "Kalau ngomong petani kopi bebas menentukan harga, rasanya memang tidak mungkin. Saya sudah puluhan tahun jadi petani kopi, saat panen saya tidak bisa menentukan harga sendiri. Tengkulak yang menentukan,” katanya, Sabtu (24/8/2019). [caption id="attachment_171259" align="alignleft" width="1280"] Sumijan memanen kopi di kebun miliknya. (MURIANEWS.com/Cholis Anwar)[/caption] Padahal, menurut dia, kopi dari Pati kualitasnya sangat bagus. Robusta dengan ketinggian 600-750 Mdpl, tentu mempunyai rasa dan aroma yang khas. "Untuk menghasilkan kopi dengan kualitas baik, petani juga mati-matian melakukan perawatan, pemupukan hingga pemanenan," lanjutnya. Ia juga menyebut, dalam proses pemanenan pun tak sembarangan dilakukan. Hanya biji robusta yang sudah memerah atau masak di pohon yang dipetik, dengan pemilihan ekstra teliti. Seharusnya dengan kualitas seperti ini menurut dia, harga jual bisa lebih tinggi ketimbang jenis kopi lain. "Tetapi kalau sudah dijual ke tengkulak, kopinya kan campur. Mau panen yang seperti apa, semuanya masuk. Karena itulah terkadang petani seperti saya ini, proses panennya asal ambil, tidak ada pemilahan," terangnya. Apa yang dikeluhkan petani kopi seperti Sumijan sebenarnya bukan tidak diketahui atau dirasakan oleh para pemangku kepentingan. Namun pernyataan yang berseberangan muncul dari Alfianingsih. Kepala Seksi (Kasi) Promosi Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kabupaten Pati  ini menilai, saat ini petani kopi di Pati merdeka menentukan harga jual sendiri. Sebab menurut dia, Kabupaten Pati merupakan salah satu sentra kopi robusta terbaik. Bahkan beberap tahun lalu, Pati sudah masuk lima besar nasional sebagai sentra penghasil kopi robusta. Kendati demikian, Alfianingsih tak menampik jika petani kopi di daerah ini punya kesulitan. Ia menilai, peyebab petani tidak bisa leluasa menentukan harga jual kopinya karena petani kopi di Pati belum ada hubungan langsung antara buyer dengan petani. Sehingga, yang paling banyak bermain dalam hal ini adalah tengkulak. "Kendala di Pati ya itu. Petani belum tersambung langsung dengan buyer. Branding juga kurang. Sehingga orang Pati sendiri tidak tahu bahwa potensi kopi Pati luar biasa," terangnya. Kedepan, pihaknya akan berusaha untuk mengenalkan kopi Pati kepada para buyer secara intensif. Dengan begitu, para petani tidak lagi dihantui dengan harga tengkulak yang terkadang lebih rendah dari pasar. "Kami juga berharap para petani kopi bisa ikut mempromosikan. Sehingga nantinya terjadi keseimbangan, sama-sama jalan," pungkasnya.   Reporter: Cholis Anwar Editor: Ali Muntoha

Baca Juga

Komentar