Jumat, 29 Maret 2024

Salut, Suami Istri Tuna Netra di Jepara Ini Mampu Sekolahkan Tiga Putrinya Hingga Lulus SMK

Novi Andriani
Jumat, 13 Juli 2018 06:11:53
Winarto dan Atik, pasangan suami istri tuna netra.(MuriaNewsCom/Novi Andriani)
Murianews, Jepara - Meski kondisinya berbeda dengan orang normal lainnya, namun pasangan suami istri tuna netra Winarto (65) dan Sumiati (59) ini mampu mengantar ke tiga putrinya hingga lulus pendidikan tingkat SMK.  Mereka bekerja dan berusaha sekuat tenaga agar tidak dibelas kasihani orang lain. Winarto yang berprofesi sebagai juru pijat tuna ini mengaku mulai menderita penyakit mata sejak ia masih kecil, awalnya dia sakit panas dan katarak mata sejak kecil, namun karena kondisi orang tuanya saat itu kurang mampu, laki-laki asal Kelet, Keling ini akhirnya tidak tertangani dengan besar dan menderita tuna netra hingga saat ini. “Saya dulu pernah melihat sebelum saya sekolah SD, namun karena sakit dan tidak mampu membawa ke rumah sakit yang lebih bagus, akhirnya saya tidak bias melihat. Awalnya sulit, tapi sejak saat itu saya harus menjadi orang yang mandiri tanpa merepotkan orang lain. Meski tuna netra tapi saya mampu berkegiatan seperti layaknya orang biasa,” semangat laki-laki kelahiran 17 Agustus 1953 itu. Menurut kakek 6 cucu ini, mulai mengikuti kursus pijat di Pemalang pada tahun 1978. Sejak saat itu dia bertemu dengan sang istri Sumiati yang berasal dari Cilacap yang sedang menempuh kursus sebagai juru pijat tuna netra. “Kami bertemu saat kursus pijat di Pemalang. Setelah menyelesaikan kursus dua tahun, pada tahun 1979 kami menikah dan memiliki anak pertama tahun 1980,” tutur Winarto. Tak mau membuat repot seluruh keluarga ataupun saudara-saudaranya, setelah memiliki anak, Winarto dan Sumiati bekerja sebagai juru pijat dengan ikut sebuah kelompok pijat tuna netra di Rembang dengan membawa putri pertamanya. “Dulu di Rembang ikut orang, jadi satu kamar ditempati satu keluarga. Setelah dua tahun, kami memiliki putri kedua tahun 1982 dan putri ketiga 1983. Setelah itu kami pindah ke Blora. Di sana kami tinggal di Dinas Sosial namun kami tetap bekerja sebagai juru pijat panggilan,” jelasnya. Namun setelah anak-anaknya menginjak pendidikan tingkat SD, juru pijat yang memiliki hoby bermain musik gitar ini kembali ke Kelet, Keling. “Awalnya kami belum memiliki rumah. Kami numpang di rumah adik saya. Lalu saya merantau ke Jepara dan ikut kelompok pijat yang ada di Jepara,” katanya. Setelah ketiga putrinya masuk SD, Winarto dan Sumiati atau yang biasa dipanggil Atik ini menjadi juru pijat di Jepara, sedangkan anak-anaknya di Keling bersama adiknya. Dengan penghasilan Rp 3.000 sekali pijat satu pasien saat itu. “Satu Minggu sekali kami pulang ke Keling. Setiap dapat penghasilan dari memijat kami berikan ke adik ipar saya untuk dikelola,” ungkapnya. Dengan rasa percaya dan pasrah atas kejujuran sang adik, Winarto selalu memberikan seluruh pendapatanya. “Setiap dapat uang saya berikan ke adik saya untuk biaya sekolah dan biaya hidup anak-anak saya. Sisanya dibelikan kambing dan untuk membeli biji kopi yang ada di Keling,” paparnya. Dengan usaha memelihara kambing dan membeli biji kopi untuk dijual kembali yang dijalankan oleh adik iparnya tersebut, Winarto mampu membiayai sekolah ketiga putrinya hingga ke jenjang pendidikan tingkat SMK. Dan membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah yang cukup untuk ditempati bersama keluarganya. Sejak tahun 2006 lalu, Winarto mampu mengontrak sebuah rumah di Kelurahan Potroyudan, tepatnya didekat Jembatan Merah Potroyudan, Jepara untuk dijadikan tempat praktik klinik pijat Winarto/Atik.  Untuk sekali pijat selama kurang lebih dua jam dia memasang tarif Rp 35.000 sesuai tariff yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Jepara. “Alhamdulillah meski sekarang keadaan makin sulit, tapi kami tidak membebani orang lain, tidak merepotkan orang lain, dan kami mampu bekerja untuk membiayai hidup kami sendiri,” jelas Winarto. Editor : Supriyadi

Baca Juga

Komentar