Jumat, 29 Maret 2024

Karomi, Perajin Tenun Ikat Asal Troso Jepara yang Getol Gunakan Pewarna Alami

Padhang Pranoto
Sabtu, 20 Januari 2018 16:18:45
Karomi menjemur kain yang telah direndam dengan larutan pewarna alam, Sabtu (20/1/2018). (MuriaNewsCom/Padhang Pranoto)
Murianews, Jepara - Berawal dari keprihatinan akan kondisi pencemaran lingkungan, Ahmad Karomi (28) pemuda Desa Troso membuat tenun ikat dengan pewarna alami. Selain bernilai ekonomi tinggi, bahan-bahan pewarnaanya pun bisa berasal dari kayu daur ulang. Di rumahnya, Troso RT 1 RW 2, Kecamatan Pecangaan, Jepara Karomi membuat tenun ikatnya di sebuah gubuk beratap rumbia. Di sana terdapat beberapa gentong tanah sebagai wadah pewarna berikut bahan pewarnanya seperti kayu mahoni, daun randu, kulit pohon joho, kesumba, dan jolawe. Dirinya menceritakan, mulai bereksperimen dengan warna alam sejak empat tahun silam. Untuk belajar, ia menimba ilmu ke Limbangan-Kendal dan Yogyakarta. Dikatakannya, proses pewarnaan tenun ikat Troso selama ini menggunakan warna sintetis. "Selama ini pewarnaan tenun ikat (di Troso) menggunakan warna sintetis. Residunya kadang kala dibuang di sungai-sungai. Berawal dari situlah saya memulai dari sedikit membikin tenun ikat warna alam, secara mandiri," ujarnya ditemui MuriaNewsCom, Sabtu (20/1/2018). Menurutnya, pembuangan residu ke sungai memengaruhi ekosistem dan kelestarian lingkungan. Di antaranya menjadikan sumber sumur warga tercemar. Oleh karenanya sejak tahun 2014, dirinya memulai belajar untuk mewarnai tenun dengan bahan alami. Namun ia sendiri mulai serius berkecimpung dengan pewarna alam baru beberapa bulan belakangan. Sebelumnya, Karomi juga sempat menjadi buruh tenun di usaha tenun milik tetangganya. [caption id="attachment_136241" align="aligncenter" width="715"] Karomi menenun kain ikat yang telah diberi warna dari larutan pewarna alami, Sabtu (20/1/2018). (MuriaNewsCom/Padhang Pranoto)[/caption] Menurutnya, keunggulan utama pewarna alam adalah ramah terhadap lingkungan. Meskipun sama-sama menghasilkan residu, namun tak lantas mencemari lingkungan karena dapat terurai secara alami. "Proses pewarnaannya (alam) memang sangat memakan waktu. Kalau saya mencelupnya sampai tiga kali, dan bergantung dengan matahari. Karena dalam prosesnya tidak boleh diperas. Setelahnya baru dikunci warnanya, dengan dicelup menggunakan bahan kapur ataupun tunjung. Kalau dari awal menghabiskan waktu selama dua bulan," jelasnya. Untuk memperoleh bahan pewarna alam, Karomi mengambilnya dari bahan-bahan daur ulang. Seperti kayu mahoni, yang didapatnya dari pabrik meubel ataupun mengambil dari halaman belakang rumahnya seperti daun randu. Sementara untuk bahan lain seperti kayu joho, jolawe masih harus didatangkan dari Solo. Prosesnya pun cukup panjang, untuk mewarnai benang harus direbus terlebih dahulu kemudian dicelupkan beberapa kali ke pewarna. "Untuk konsumennya masih terbatas pada kalangan tertentu. Lantaran prosesnya lumayan panjang dan harganya cukup tinggi," urainya, yang juga pengelola sanggar Omah Petrok. Per potong kain tenun warna alami (2,2 meter) harganya mulai Rp 650 ribu hingga jutaan rupiah. Saat ini ia menjaring pembeli lewat jejaring media sosial Instagram. Pesanan pun telah datang dari Jakarta maupun Bali. "Ya ini kita memulainya sedikit demi sedikit, siapa tahu dapat menginspirasi yang lain untuk ikut menenun menggunakan bahan ramah lingkungan," tutup Karomi. Editor: Supriyadi

Baca Juga

Komentar