Kamis, 28 Maret 2024

Menunggu Gebrakan Bawaslu Jateng "Baru"

Murianews
Sabtu, 14 Oktober 2017 13:07:04
[caption id="attachment_128506" align="alignleft" width="150"] Muhammad Oliz, Komisioner Panwas Pilkada Jepara 2016 – 2017[/caption] Proses seleksi calon Komisioner Bawaslu Provinsi Jawa Tengah periode 2017 - 2022 sudah rampung. Dan saat ini, sudah terpilih tiga nama yakni M Fajar Subhi AKA SH,MH ; Dr. Sri Wahyu Ananingsih, SH,MH dan Sri Sumanta, SH. Saat ini, Bawaslu Jateng dan jajaran dihadapkan dua agenda yang waktunya saling beririsan. Yakni pengawasan gawe Pilgub Jateng 2018 (termasuk di dalamnya Pilkada di tujuh kabupaten/kota di Jateng yang pelaksanaannya digelar serentak dengan gawe pilgub) dan juga Pemilu 2019. Bagaimana gebrakan Bawaslu Jateng yang baru? Kecakapan urusan pencegahan, kelihaian pengawasan dan ketegasan dalam penindakan pelanggaran pemilu merupakan satu paket yang ditunggu masyarakat Jawa Tengah. Untuk Pilgub Jateng 2018, tahapannya sudah dimulai sejak Agustus lalu. Dan kini, sederet agenda pengawasan sudah menanti di depan mata semisal terkait verifikasi syarat dukungan bakal pasangan calon (paslon) dari jalur perseorangan gawe Pilgub Jateng dan juga Pilkada tujuh daerah di provinsi ini. Lalu, kasak kusuk terkait "uang perahu" yang biasanya membayangi rekrutmen bakal paslon dari jalur parpol atau gabungan parpol juga butuh pengawasan ekstra agar tak sekedar menjadi cerita semata tanpa bisa dibuktikan kebenarannya. Upaya ini penting lantaran sanksi untuk pelanggaran ini berat karena bisa membatalkan kepesertaan paslon. Atau juga pengawasan terkait kemungkinan penggunaan progam pemberdayaan masyarakat atau bantuan pemerintah, hibah, bansos, praktek utak-atik anggaran yang kemungkinan dilakukan oleh paslon berlatarbelakang kepala daerah. Sedang untuk Pemilu 2019, proses verifikasi partai politik yang dimulai Oktober mendatang juga menjadi bagian penting kinerja pengawasan. Terlebih sampai sejauh ini, ketentuan tersebut berlaku untuk semua parpol tanpa kecuali, baik yang lama maupun baru. Selain kegiatan eksternal di atas, tiga Pimpinan Bawaslu Jateng yang baru dilantik juga dihadapkan agenda internal yakni terkait peningkatan dan penguatan sumberdaya manusia (SDM) panwaskab/kota gawe Pilgub Jateng 2018 dan Pileg – Pilpres 2019. UU No 10 tahun 2016 tentang Pilkada mengamatkan kewenangan bagi pengawas pemilu untuk memeriksa dan memutus pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Meskipun pembuktian pelanggaran administrasi kategori TSM ini juga sangat sulit. Kendala sebelumnya yakni penanganan pelanggaran ini yang hanya bisa diproses jika terjadi sejak penetapan paslon hingga 60 hari sebelum hari pemungutan suara sudah tak ada lagi. Sebab seiring ketentuan teranyar penanganannya tetap bisa dilakukan meskipun politik uang itu terjadi hingga hari H pemungutan suara. UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu juga mengamanatkan adanya kewenangan yang lebih bagi Bawaslu dan jajarannya. Yakni terkait penyelesaian sengketa yang menjadikan Bawaslu dan jajaran sebagai lembaga setengah peradilan untuk "memutuskan" sengketa pemilu. Dua kewenangan itu tentu membutuhkan SDM yang handal dan berkompeten. Padahal di satu sisi, punggawa panwaskab/kota tiap kali gawe pemilu (pilkada) selalu berubah seiring status lembaga ini yang memang ad hoc alias tidak permanen. Dan hampir bisa dipastikan ada wajah baru sehingga memerlukan bimtek berkali-kali agar bisa seirama dengan ritme pengawasan pemilu. Kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu juga butuh keahlian khusus. Minimal memahami ilmu hukum dan menguasai praktik beracara laiknya di pengadilan. Persoalannya, mayoritas komisioner panwaskab/kota saat ini justru tidak berlatarbelakang sarjana hukum. Hanya sekitar 20 persen saja dari 105 komisioner panwaskab/kota yang berlatarbelakang ilmu hukum. Yang dominan justru dari disiplin ilmu lain, semisal sarjana pendidikan, sarjana sosial, sarjana agama, sarjana tehnik dan lain sebagainya. (lihat informasi yang tercantum dalam www.bawaslu-jatengprov.go.id atau facebook Bawaslu Jawa Tengah). Di Jawa Tengah, pernah ada kasus sengketa pemilihan seperti yang terjadi saat gawe Pilkada Pemalang tahun 2015. Yakni antara bakal paslon Mukti Agung – Afifudin dengan KPU Pemalang. Panwas Kabupaten Pemalang memutuskan mengabulkan permohonan Mukti Agung – Afifudin dan sekaligus memerintahkan KPU Pemalang agar menetapkan mereka sebagai peserta Pilkada Pemalang. Urusan penyelesaian sengketa untuk gawe Pilgub Jateng atau Pilkada tujuh kabupaten/kota tahun 2018 mungkin tak seberapa rumit. Sebab paslon peserta relatif bisa dihitung dengan jari. Sukses penanganan penyelesaian sengketa Pilkada Pemalang bisa menjadi modal berharga jika terjadi persoalan serupa saat gawe demokrasi untuk memilih kepala daerah tersebut. Tapi untuk perhelatan Pemilu 2019, persoalan terkait sengketa bisa lebih rumit. Sebab peserta pemilu untuk memilih DPR, DPRD dan DPD di Provinsi Jateng saja bisa mencapai ratusan atau bahkan ribuan orang. Potensi terjadinya sengketa baik antarpeserta maupun peserta dengan lembaga penyelenggara pemilu terbuka lebar seiring ketatnya persaingan "audisi" untuk memilih wakil rakyat dan senator asal provinsi ini. Tantangan lainnya yakni mendongkrak partisipasi publik dalam pengawasan pemilu. Selama ini mayoritas dugaan pelanggaran pemilu, baik berupa administrasi, pidana pemilu maupun kode etik penyelenggara pemilu merupakan hasil pengawasan jajaran Bawaslu. Sedang pelanggaran hasil laporan masyarakat masih minim. (Buku Potret Pengawasan Pilkada Tahun 2015 dan 2017, Bawaslu Jateng). Progam pengawasan pemilu berbasis aplikasi android yakni Gowaslu yang dilaunching Bawaslu sejak Agustus tahun 2016 memang bisa menjadi salah solusi. Sebab masyarakat bisa melaporkan dugaan pelanggaran pemilu hanya melalui gawai di tangannya. Hanya saja, progam ini (jika masih digunakan) harus lebih disosialisasikan kepada berbagai elemen masyarakat termasuk parpol maupun peserta pemilihan. Pengalaman saat Pilkada serentak tahun 2017 di Jateng belum ada laporan masyarakat terkait pelanggaran pemilu yang dilaporkan melalui aplikasi tersebut.  Selain karena kendala teknis berupa cukup rumitnya pengoperasian aplikasi, kesadaran berbagai elemen masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan dugaan pelanggaran pemilu memang masih rendah. Kita tentu bersepakat jika tingkat partisipasi pemilih untuk menyalurkan hak pilihnya adalah penting. Tapi bagaimana mengawal suara pemilih agar tak dicurangi berbagai praktik tercela juga sama penting. Oleh karena itu, jargon Bawaslu “Bersama Rakyat Awasi Pemilu” harus terus dibumikan. (*) (Muhammad Oliz, Komisioner Panwas Pilkada Jepara 2016 – 2017)

Baca Juga

Komentar