Jumat, 29 Maret 2024

Mbah Marno, Warga Pulokulon Grobogan Pemilik Jembatan Antarkecamatan

Dani Agus
Sabtu, 14 Oktober 2017 08:13:10
Mbah Marno, pemilik jembatan penyeberangan antar kecamatan sedang bersantai di poskonya di pinggiran sungai Lusi di Dusun Pelem, Desa/Kecamatan Pulokulon. (MuriaNewsCom/Dani Agus)
Murianews, Grobogan - Sebuah jembatan sasak dari bambu yang melintasi sungai Lusi ini terlihat ramai. Dalam rentang waktu beberapa menit, ada sepeda motor atau pejalan kaki yang melintas dari kedua arah. Meski terlihat sangat sederhana, jembatan ini sangat membantu aktivitas banyak orang. Indikasinya, setiap hari ada ratusan motor maupun sepeda yang memanfaatkan jembatan tersebut. Selain itu, jembatan itu juga dimanfaatkan para pejalan kaki yang akan beraktivitas ke sawah. Padatnya arus kendaraan yang melewati jembatan itu memang masuk akal. Soalnya, jembatan itu menjadi akses alternatif antar kecamatan. Yakni, Kecamatan Pulokulon dan Wirosari. Pada sisi selatan jembatan masuk wilayah Dusun Pelem, Desa/Kecamatan Pulokulon. Sedangkan diseberang sungai masuk wilayah Dusun Bugel, Desa Sambirejo, Kecamatan Wirosari. Uniknya, jembatan itu ternyata bisa dikatakan milik perorangan. Yakni, Mbah Marno, warga yang tinggal di Dusun Pelem, Desa Pulokulon. Pria 64 tahun itu sudah membuat jembatan bambu sejak tahun 2000. Sebelum membuat jembatan, Mbah Marno adalah pemilik perahu penyeberangan yang beroperasi di lokasi tersebut. Saat tiba musim kemarau, otomatis perahu miliknya tak bisa beroperasi karena sungai Lusi menjadi dangkal. Dari kondisi alam itulah, kakek lima cucu itu akhirnya punya gagasan untuk membikin jembatan penyeberangan sederhana. Selain membantu warga, adanya jembatan itu juga bisa mendatangkan penghasilan. Namun, Mbah Marno tidak pernah mematok tarip bagi pengguna jembatan. Hanya saja, ia menyediakan sebuah kotak didekat poskonya. “Bayarnya sukarela. Yang mau ngasih, tinggal masukkan uangnya ke dalam kotak. Pendapatan setiap hari, rata-rata bisa sampai Rp 100 ribu,” kata bapak empat anak itu saat ditemui di poskonya di pinggiran sungai Lusi, Jumat (13/10/2017). Mbah Marno mengisahkan, pada awalnya, pembuatan jembatan seluruh konstruksinya dari bahan bambu. Namun, sejak tahun 2012 lalu, ia membuat dua tiang penyangga dari konstruksi cor beton. Kedua tiang sepanjang 4 meter yang separuhnya dibenamkan ke dasar sungai itu ditempatkan di bagian tengah. “Buat tiang beton itu habisnya Rp 4 juta waktu itu. Adanya tiang beton bikin jembatan tambah kuat. Selain itu, tiang beton saya pasang untuk memudahkan menemukan titik pembuatan jembatan saat sungai dangkal,” jelasnya. Saat air sungai Lusi mulai berkurang, Mbah Marno dibantu putra pertamanya Puryono biasanya langsung bersiap membikin jembatan baru. Untuk belanja bambu sebagai tiang penyangga dan bahan landasan serta beli paku menghabiskan dana sekitar Rp 1,5 juta. Proses pembuatan jembatan biasanya makan waktu hingga lima hari. “Saya hanya bikin jembatan kalau kondisi sungai Lusi dangkal seperti ini. Kalau nanti sungainya penuh, jembatannya hanyut. Untuk membantu penyeberangan saya ganti gunakan perahu kayu,” katanya. Menjelang berakhirnya musim kemarau, Mbah Marno juga punya kesibukan khusus. Yakni, mempersiapkan pembuatan perahu yang akan digunakan saat sungau Lusi penuh air. “Perahu saya hanyut terbawa banjir. Makanya, saya lagi mau bikin lagi,” cetusnya.  Editor: Supriyadi

Baca Juga

Komentar