Jumat, 29 Maret 2024

Mengambil Hikmah dari Kematian Patmi, Sang Perempuan Pengecor Kaki

Akrom Hazami
Rabu, 22 Maret 2017 16:22:57
Akrom Hazami [email protected]
[caption id="attachment_110515" align="alignleft" width="150"] Akrom Hazami
[email protected][/caption] PATMI, petani perempuan asal kawasan Pegunungan Kendeng, salah satu perempuan penolak pabrik semen, yang melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara, Jakarta, meninggal dunia. Yaitu pada Selasa (21/3/2017), dini hari. Perempuan 48 tahun asal Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati, dinyatakan meninggal akibat serangan jantung. Patmi meninggal saat dalam perjalanan dari kantor LBH Jakarta menuju rumah sakit St. Carolus, Salemba. Informasinya, Patmi mulanya sedang mengantre buang air kecil. Kemudian, Patmi mengeluh kurang enak badan, hingga akhirnya tak sadarkan diri. Medis memberikan pertolongan pertama. Tapi badan Patmi mendadak dingin sehingga dirujuk ke rumah sakit.  Belum sampai di rumah sakit, Patmi meninggal dunia. Sesuai informasi, Patmi tidak memiliki penyakit bawaan dan berangkat ke Jakarta dalam keadaan sehat. Menurut dokter, Patmi meninggal dunia karena penyakit jantung. Patmi berangkat ke Jakarta bersama dengan Dasmi dan Suparmi. Kemudian, mereka bergabung bersama peserta aksi lain. Hingga akhirnya peserta aksi melakukan pengecoran pada kaki.  Selama sepekan ini, Patmi ikut aksi menolak pembangunan pabrik semen di kawasan Kendeng, Rembang. Kematian Patmi membuat banyak pihak bereaksi. Dari mulai Presiden Jokowi hingga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Beberapa kalangan juga menyayangkan aksi penolakan yang dilakukan Patmi dan kawan-kawannya. Kenapa harus mengecor kaki? Ya, kenapa harus mengecor kaki? Di era demokrasi, warga memang bebas untuk menyuarakan pendapatnya, atau mengutarakan aspirasinya. Tapi tentu, seyogyanya menggunakan cara yang baik. Atau cara yang tak menyakiti diri sendiri. Sebab nantinya, jika terjadi hal yang tak diinginkan, justru akan berbuah masalah baru. Sudah tak terhitung aksi berbuah korban. Baik di Indonesia, atau di luar negeri. Bahkan sampai berujung pada banyaknya jumlah warga yang menjadi korban jiwa. Apakah itu korban meninggal dunia, sampai yang mengalami luka. Bagi warga yang hendak melakukan aksi unjuk rasa, aksi protes, dan sejenisnya, kini sudah saatnya menimbang cara aksi yang akan ditempuh. Apakah menyakiti atau tidak? Apakah membahayakan atau tidak? Serta, apakah berisiko tinggi atau tidak?. Semua harus dipertimbangkan masak-masak. Jangan sampai aksi berujung pada jatuhnya korban jiwa. Sebab, selain hal itu kerap tak diinginkan, juga akan meninggalkan sedih yang mendalam di kalangan sesama peserta, hingga keluarga.  Bukankah, mereka para anggota keluarga yang tak ikut aksi, tak henti-hentinya mulutnya berkomat-kamit melantunkan doa demi keselamatan jiwa yang ikut aksi. Sudahlah, jangan ada lagi Patmi-Patmi lain yang menyusul.  Jangan ada darah yang tumpah lagi. Sampaikan semua keluhan, protes, dan sejenisnya, dengan cara yang lebih bijak. Jika darah yang harus jadi tebusan, maka berpikirlah dua kali. Tetaplah menyala menyampaikan aspirasi, tapi bukan dengan taruhan nyawa. (*)  

Baca Juga

Komentar