Kamis, 28 Maret 2024

Revitalisasi Peran Wali Murid

Murianews
Kamis, 9 Maret 2017 12:44:01
[caption id="attachment_109647" align="alignleft" width="150"] Janu Arlinwibowo, M.Pd. Pemerhati Pendidikan - Awardee Doktoral Dalam Negeri LPDP 2016.[/caption] SELURUH dunia telah menyerahkan pengembangan potensi bibit-bibitnya ke dalam suatu wadah pendidikan yang biasa disebut sekolah. Indonesia sangat menyadari pentingnya bersekolah agar dapat memaksimalkan potensinya dan memiliki bekal untuk bersaing di masa mendatang. Saat ini bangsa Indonesia telah memberikan standar bagi masyarakat untuk belajar minimal 9 tahun (hingga SMP) yang sering disebut sebagai wajib belajar 9 tahun. Walaupun pada faktanya, banyak orang yang menganggap saat ini pendidikan SMA tidak cukup. Seseorang harus menempuh hingga jenjang strata 1 untuk dapat bersaing. Untuk menjamin tidak ada lagi dengungan tidak bersekolah karena mahal maka saat ini pendidikan hingga jenjang SMP telah digratiskan oleh pemerintah. Upaya tersebut telah menghapuskan diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Lebih lanjut bahkan pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan inklusi sehingga anak dengan kebutuhan khusus dapat bersekolah bersama anak lain. Dengan demikian maka diskriminasi terhadap keterbatasan siswa pun perlahan telah diatasi. Pada saat bersekolah seseorang berubah status dari seorang anak menjadi seorang siswa. Anak ketika di rumah dengan kontrol dan aturan main yang dibuat oleh orang tua, sedangkan siswa ketika di sekolah dengan kontrol dan tata tertib sekolah. Pada saat bersekolah, siswa berproses sendiri bersama teman dalam sistem yang ada di sekolah. Orang tua didesain untuk minim intervensi dengan harapan anak tumbuh menjadi sosok yang lebih mandiri. Siswa diajari untuk mulai berani tidak ditunggui dari PAUD dan TK. Pada saat SD, siswa dikondisikan untuk sudah masuk gerbang sekolah sendiri dan kluar gerbang sekolah sendiri. Sekolah adalah dunia siswa di mana orang tua tidak memiliki campur tangan banyak. Komunikasi Orang Tua dan Sekolah Selama ini, campur tangan orang tua hanya pada hal administrasi, sosialisasi program, dan ketika siswa mengalami permasalahan. Pada hal administrasi dan sosialisasi, orang tua dilibatkan dalam acara kontinu seperti penerimaan rapor ataupun rapat awal semester. Namun, pembahasan masalah pribadi mengenai perkembangan siswa sangat jarang dilakukan secara intensif, kecuali untuk siswa bermasalah. Anak yang tidak mengalami masalah dianggap sebagai anak “normal” sehingga tidak perlu ada komunikasi khusus dengan orang tua. Situasi tersebut berlangsung terus-menerus sehingga lazimnya jika guru atau pihak sekolah menemui atau memanggil orang tua maka dianggap pasti ada hal spesial yang dilakukan oleh putra/putrinya. Tidak kaget jika saat guru menemui atau memanggil, hal yang pertama ditanyakan oleh orang tua adalah “apakah anak saya membuat masalah?”. Bahkan tidak jarang ketika ada undangan untuk ke sekolah, orang tua langsung marah dan menyimpulkan bahwa anaknya melakukan perilaku yang tidak baik, padahal belum tentu. Citra negatif melekat pada aktivitas “komunikasi antara guru dan orang tua” pada waktu yang bukan agenda rutin dan tidak diagendakan masal. Fakta demikian membuat ketiadaan inisiatif orang tua untuk melakukan komunikasi dengan pihak sekolah. Dengan demikian maka terputuslah hubungan dan komunikasi intensif antara orang tua dan guru. Imbasnya sangat fatal yaitu sinergi yang tidak dapat terbangun dengan baik. Padahal sinergi orang tua dan guru merupakan salah satu aspek fundamen dalam memaksimalkan potensi siswa. Urgensi Sinergi Orang Tua dan Sekolah Sinergi antara pihak sekolah dan orang tua sangat penting. Handerson (Mariyana, 2009) menyatakan bahwa jika sekolah tidak membuat dan melakukan usaha untuk mengikutsertakan orang tua dalam proses pendidikan maka anak akan kesulitan dalam menggabungkan dan menyatukan pengalaman yang mereka peroleh di rumah dan di sekolah. Kedua pengalaman terpisah oleh ruang dan waktu sehingga jika tidak dilakukan penyatuan maka akan sangat mungkin seorang siswa tumbuh menjadi individu yang berbeda dalam setiap kondisi. Kasus yang sering dihadapi adalah perbedaan sikap saat di sekolah dan di rumah. Terdapat guru yang tidak menyadari kenakalan siswa karena sikap yang ditunjukan di sekolah sangat baik akan tetapi di rumah sebaliknya, atau orang tua tidak percaya informasi guru bahwa anaknya berkelakuan kurang baik karena saat di rumah merupakan seorang yang sangat santun. Kasus demikianlah yang memicu banyak “kecolongan”. Siswa teridentifikasi memiliki perkembangan yang kurang baik saat sudah melakukan perbuatan fatal. Banyak pihak yang mulai menyadari arti penting sinergi dengan orang tua. Zaman sudah mulai bergeser di mana saat ini posisi sekolah dan orangtua sudah seharusnya menjadi partner dalam mengembangkan potensi siswa. Kurikulum saat ini telah menekan keseimbangan perkembangan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Dari ketiga hal tersebut, guru hanya dapat mendominasi pada perkembangan kognitif, sedangkan untuk sikap dan ketrampilan, proses pembelajaran sekolah hanya dapat menjangkau ranah teoritis. Itu pun hanya dari mulai pukul 07.00 hingga 14.00 WIB, selebihnya siswa sudah hidup dalam lingkungannya masing-masing. Di luar jam sekolah sikap dan ketrampilan diasah lebih lama. Orang tualah yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan lingkungan luar sekolah. Revitalisasi Peran Orang Tua Sebagai Wali Murid Intensitas komunikasi siswa dengan pihak sekolah harus ditingkatkan. Citra bahwa orang tua ke sekolah adalah orangtua dari siswa yang berkelakuan kurang baik harus dihilangkan. Langkah strategis yang dapat diambil adalah revitalisasi peran wali murid. Sekolah memiliki peran besar pada upaya tersebut yaitu dengan memberikan arahan terbuka pada orang tua untuk menjadi sebenar-benarnya wali tanpa harus mengkhawatirkan citra yang saat ini berkembang. Orang tua memiliki hak untuk mendapatkan informasi perkembangan anaknya tidak hanya melalui rapor tapi juga data leboh detail melalui komunikasi intensif dengan guru. Di samping itu orangtua juga harus sadar bahwa semua perkembangan anaknya adalah penting untuk diketahui dan didiskusikan. Jika peran orang tua sebagai wali menjadi lebih nyata, semakin intensif komunikasi orang tua dan guru, kondisi perkembangan anak semakin terkontrol, dan “bincang-bincang” orang tua dengan pihak sekolah menjadi hal biasa maka proses pendidikan anak menjadi semakin baik, potensi berkembang maksimal, dan hal negatif ditekan minimal. Sekolah memupuk, orang tua menyiram, dan bersama memproteksi dari hama. (Janu Arlinwibowo, M.Pd. Pemerhati Pendidikan - Awardee Doktoral Dalam Negeri LPDP 2016. Warga Gondosari Gebog Kudus. Artikel ini dimuat di MuriaNewsCom, Kamis 9 Maret 2017)  

Baca Juga

TAG

Komentar