Jumat, 29 Maret 2024

Petani Pati Utara “Melawan” Perhutani, Begini Cara yang Dilakukan

Akrom Hazami
Senin, 9 Januari 2017 21:00:49
Keluarga besar pesanggem ketela menggelar acara selawatan. Ini merupakan salah satu cara atau aksi menentang kebijakan Perhutani terkait bagi hasil panen ketela. (MuriaNewsCom/Kholistiono)
Murianews,Pati – Kebijakan Perhutani terkait sistem pembayaran bagi hasil pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) tanaman ketela dengan pola kerja sama wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ngarengan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Pati, hingga kini masih menuai protes dari petani. Perjanjian kerja sama, tarikan dan sharing dengan prosentasi 75:25, di mana 75 persen untuk petani pesanggem atau penggarap dan 25 persen untuk Perhutani, dinilai memberatkan dan syarat dengan praktik pungutan liar. Bahkan terkait hal ini, ribuan warga dari Pati utara, di antaranya , dari Desa Wedusan, Gesengan, Dukuhseti, Ngagel dan Ngarengan, beberapa waktu lalu melakukan aksi demontrasi di depan Kantor Perhutani Pati, Kamis (1/12/2016). Mereka menuntut agar oknum Perhutani Pati yang dituding melakukan pungli segera diproses hukum. Warga menyebut oknum Perhutani melakukan pungli senilai Rp 4,3 juta per hektare. Hal itu yang dianggap warga sebagai tindakan pemerasan, karena tidak pernah dilakukan sosialisasi sebelumnya. Kini, sudah lebih sebulan berlalu. Namun, tuntutan warga terkait dengan hal tersebut, hingga kini belum ada kejelasan, sehingga membuat warga geram dan terus bergerak untuk mendapatkan sebuah solusi.Tak seperti aksi yang pertama, yang turun ke jalan, kali ini, mereka melakukan aksi damai dengan menggelar selawatan. Baca juga : Ribuan Warga Unjuk Rasa Tuntut Tidak Ada Pungli di Perhutani Pati Acara selawatan sendiri dipusatkan di Lapangan Desa Wedusan, Kecamatan Dukuhseti, Pati, Minggu (8/1/2017). Tampak ribuan warga memadati acara yang dihadiri Habib Helmy Al Aidrus dari Kudus. “Ini sebenarnya sebagai bentuk lanjutan dari aksi 112 lalu di Pati. Sebenarnya kawan-kawan akan turun lagi ke jalan, namun, kali ini kita sepakat melakukan aksi damai dengan selawatan. Dengan cara seperti ini, kita berharap, mereka-mereka para pejabat di Perhutani yang memiliki kekuasaan itu, didoakan agar segera sadar, dan tidak sewenang-wenang kepada rakyat kecil,” ujar Abdul Rahmah, Koordinator Aliansi Masyarakat Pati Anti Diskriminasi (AMPAD). Dirinya berharap, petani dan pihak terkait segera diajak untuk berembug terkait kebijakan tersebut. Sehingga, tidak ada lagi, keputusan sepihak yang justru memberatkan petani. Lebih lanjut ia mengatakan, terkait dengan tuntutan petani pada aksi pertama, menurutnya, hingga kini belum diketahui hasilnya. Pihaknya juga menuntut sampai kapan ada jawaban dari pihak terkait, namun, pihaknya berharap ada hasil sesegera mungkin. Bahkan, katanya, pihaknya juga telah melakukan adanya dugaan praktik pungli oleh oknum Perhutani tersebut ke Ombudsman. “Ke depan, tidak menutup kemungkinan kami akan melakukan aksi turun ke jalan dengan massa yang lebih banyak dari sebelumnya, jika memang tuntutan kami mandeg dan tidak ada progress,” imbuhnya. [caption id="attachment_105160" align="aligncenter" width="565"]Ini isi surat kesepakatan yang dipermasalahkan petani pesanggem. Diduga hal tersebut adalah sebagai bentuk praktik pungli oleh oknum Perhutani. (MuriaNewsCom/Kholistiono) Ini isi surat kesepakatan yang dipermasalahkan petani pesanggem. Diduga hal tersebut adalah sebagai bentuk praktik pungli oleh oknum Perhutani. (MuriaNewsCom/Kholistiono)[/caption]   Sebelumnya, dirinya juga menyebut, jika ada “preman” yang selama ini tidak pernah menggarap lahan mengambil alih dengan paksa lahan garapan para petani yang selama ini menggarap lahan Perhutani. Setelah preman berhasil menguasai lahan garapan petani, sebelumnya muncul gejolak tawuran antarwarga dan protes berlangsung di mana-mana. Dalam kondisi tersebut, muncul pahlawan baru yang pura-pura menolong, diwakili asisten perhutani (asper) dengan meminta uang kepada para petani sejumlah Rp 10 juta. Uang itu disebut untuk pengurusan pengembalian lahan yang telah diambil alih oleh preman, yakni petak 91, 92 RPH Bulungan. Namun, faktanya, petani Desa Gesengan tetap tidak bisa menggarap, lantaran Perhutani dianggap tidak punya niat untuk menertibkan lahan yang telah diambil para preman. Tak hanya itu, lahan petani di Desa Gesengan, Grogolan, Gerit, Ngagel, dan Ngarengan yang sudah ditanami tanaman jati dirampas oleh para preman sebagai dampak keputusan KPH. Hal itu dianggap bertentangan dengan ketentuan perjanjian kerja sama yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku untuk jangka waktu satu daur tanaman pokok, berlaku surut sejak 8 Desember 2003. “Penjarahan yang semakin merajalela ini disebabkan keputusan Perhutani yang mengembalikan penggarapan lahan ke desa masing-masing. Keputusan Perhutani ini berhasil mengadu domba petani dengan warga yang belum menggarap lahan atau preman. Tindakan preman semakin membabi buta, karena Perhutani tidak melakukan tindakan apapun,” kata Abdul Rahman. Ancaman tersebut terbukti dengan lahan garapan petani di Desa Wedusan dan Gesengan diambil paksa dan ditutup oleh Perhutani dengan alasan belum menyerahkan tarikan yang sudah ditentukan Perhutani. Tindakan tersebut yang dinilai para petani bertentangan dengan hukum. Bahkan, penarikan uang yang dilakukan oknum Perhutani disebut-sebut sebagai tindakan melawan hukum. “Kami masyarakat penggarap yang tergabung dalam AMPAD, mendesak Kapolres Pati dan pihak terkait untuk segera memanggil dan memeriksa, serta menyeret para pihak yang melakukan kejahatan itu sesuai dengan prosedur hukum. Bila perlu, segera dilakukan penangkapan dan penahanan untuk menghindari kejahatan di tengah-tengah para petani,” pungkasnya. Editor : Kholistiono

Baca Juga

Komentar