Jumat, 29 Maret 2024

Pingin Tahu Proses Pembuatan Garam di Desa Jono Grobogan? Begini Caranya

Dani Agus
Rabu, 23 November 2016 13:00:42
Murianews,Grobogan - Adanya sentra pembuatan garam di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo,Kabupaten Grobogan memang bikin penasaran banyak orang. Kebanyakan mereka ini bertanya-tanya bagaimana bisa air tanah bisa dibikin jadi garam. Dari pengamatan di lapangan, proses pembuatan garam itu ada beberapa tahapan. Sebelum memulai pembuatan garam, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan lebih dulu. Pertama, mengisi bak penampungan air terlebih dahulu sampai penuh. Bak penampungan ini letaknya di bawah gubuk-gubuk yang ada di sentra pembuatan garam. Bak penampungan ini dibuat dengan cara menggali tanah di bawah gubuk tersebut. Ukurannya sekitar 2 x 3 meter dengan kedalaman sekitar 2,5 meter. Bak ini diisi air dari sumber utama yang ada di sebelah timur sentra pembuatan garam. Dari sumber utama, air dialirkan lewat pipa ke bak penampungan. Dengan sudah adanya pipa ini, para petani garam bisa mengisi bak penampungan tiap saat. Setelah bak penampungan terisi, persiapan lain yang dilakukan adalah membuat sarana pembuatan garam. Kebutuhan utama adalah membuat klakah (bambu yang dibelah) sebagai media pembuatan garam. Klakah ini rata-rata panjangnya 2 meter. Kemudian, satu peralatan lagi juga wajib tersedia. Yakni gayung untuk mengambil air dari bak penampungan. Hampir semua gayung yang dipakai petani garam bentuknya seragam. Pegangan gayung dibuat dari bambu seukuran tiang bendera dan ujungnya berupa bola plastik yang sudah dibelah. “Gayung ini sengaja pakai bola plastik yang dibelah karena lebih nyaman dipakai ambil air dari bak penampungan. Selain itu, pakai bola plastik ini bisa ambil cukup banyak air sekali jalan,” terang Mbah Gudel, salah seorang petani garam. Proses pembuatan garam diawali dengan menata klakah di atas bak penampungan. Klakah ini disusun berjajar dan bertumpuk tetapi tidak sampai menutup seluruh bak.Masih terlihat ada sedikit celah yang digunakan untuk mengambil air dengan gayung. Setelah tertata rapi, klakah pada tumpukan paling atas, satu persatu diisi air dari bak penampungan hingga penuh. Selanjutnya, tumpukan klakah paling atas dipindahkan ke lahan penjemuran di depan atau di belakang gubuk. Untuk memindahkan klakah yang sudah terisi air ke lahan penjemuran harus dilakukan dua orang. Masing-masing mengangkat ujung klakah dan membawanya dengan hati-hati ke lahan penjemuran. “Untuk mindah klakah ke lokasi jemur sulit dilakukan satu orang saja. Soalnya, klakah harus dijaga jangan sampai airnya tumpah,” sambung petani garam berusia 72 tahun itu. Proses pengisian air dan pemindahan ke lahan penjemuran ini terus diulang sampai tumpukan klakah habis. Setiap produksi, rata-rata ada 300-400 klakah yang disiapkan. Pengisian air ke dalam klakah hingga memindahkan ke lahan penjemuran sepanjang 20 meter ini memerlukan waktu 3-4 jam. Lamanya waktu ini tergantung berapa banyaknya klakah yang akan diisi. Proses pengisian klakah ini biasanya dilakukan pagi-pagi. Tujuannya, supaya klakah yang sudah diisi air bisa dapat sinar matahari secepat mungkin. Setelah seharian terkena panas matahari, klakah tersebut kemudian dipindahkan lagi ke dalam gubuk satu persatu dan ditata seperti semula. Saat memindahkan ini, klakah juga dicek kondisinya. Jika ada ruas klakah yang airnya berkurang langsung diisi lagi sampai penuh. Keesokan harinya, klakah ini dipindahkan lagi ke lokasi penjemuran dan sore hari kembali dimasukkan ke tempat semula. Proses ini diulang-ulang hingga beberapa hari. Saat musim kemarau, proses pembuatan garam ini butuh waktu sekitar lima hari. Tetapi saat musim hujan, prosesnya jadi lebih lama, bisa makan waktu 10-15 hari. “Cepat atau lamanya pembuatan garam tergantung sinar matahari. Kalau cuaca panas bisa cepat dan sebaliknya kalau sering mendung atau hujan maka pembuatan garam lebih lama,” katanya. Masa panen garam dilakukan setelah kondisi klakah terlihat penuh butiran berwarna putih. Garam yang sudah terlihat pada klakah ini kemudian dikeruk berikut air yang tersisa dan dimasukkan dalam ember. Panen garam dilakukan di lahan penjemuran pada siang hingga sore dan bisa dikerjakan satu orang. Namun, kebanyakan para petani garam mengerahkan anggota keluarganya supaya panen bisa dilakukan lebih cepat. Terlebih jika saat panen cuaca mulai mendung. Garam yang sudah dipanen kemudian dimasukkan dalam karung yang sudah disiapkan sebelumnya. Sedangkan sisa air dalam klakah yang tidak ikut mengkristal jadi garam tidak dibuang tetapi juga ditaruh dalam jerigen maupun gentong plastik atau tanah liat. Oleh petani garam dan warga setempat, sisa air yang tidak jadi garam ini dinamakan bleng. Cairan berwarna  “Jadi hasil panen disini ada dua macam. Yakni, garam dan bleng. Rasa garam disini tidak kalah sedap dengan produksi garam laut. Soal warnanya memang beda, garam di sini ada sedikit kecoklatan. Kalau garam laut putih bersih,” sambung Mbah Gudel. Dari tiap lahan, para petani bisa menghasilkan garam sekitar 10 kg dan bleng sekitar dua jerigen bleng (40 liter). Harga jual garam saat ini Rp 6.000 per kilo. Sedangkan cairan bleng laku Rp 10 ribu per jerigen kapasitas 20 liter. Garam dan bleng yang dihasilkan di situ biasanya dibeli warga setempat dan warga desa sekitar. Jika masih ada sisa, biasanya disetorkan pada pengepul yang jadi langganan petani garam. Editor : Kholistiono

Baca Juga

Komentar