Jumat, 29 Maret 2024

Ironi Pendidikan di Wilayah Terpencil Rembang

Kholistiono
Senin, 14 November 2016 10:00:57
Kholistiono [email protected]
[caption id="attachment_100680" align="alignleft" width="150"]Kholistiono cak.kholis@yahoo.co.id Kholistiono
[email protected][/caption] KISAH tentang Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantong, Belitung, yang hanya punya 10 murid, ternyata bukanlah hanya ada pada cerita Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Namun, kisah seperti itu ternyata juga masih ada di sekitar kita saat ini. Di Kabupaten Rembang misalnya. Sebuah sekolah dasar yang berada di wilayah perbatasan antara Rembang dan Blora, yakni di Dukuh Wuni, Desa Kajar, Kecamatan Gunem, terdapat sekolah yang muridnya terhitung minim. Tak sedramatis dalam kisah Laskar Pelangi, yang murid di sekolahnya hanya ada 10 orang. Di sekolah ini, yaitu SDN 2 Kajar, jumlah murid secara keseluruhan hanya 42 orang. Bahkan, untuk kelas VI, jumlah peserta didiknya hanya ada lima orang. Kondisi di SDN 2 Kajar, hanyalah potret kecil dunia pendidikan yang ada di kawasan terpencil di Rembang. Masih ada beberapa kondisi serupa di daerah pedalaman lainnya di Rembang. Minimnya jumlah peserta didik yang dimiliki SDN 2 Kajar ini, ternyata sudah puluhan tahun terjadi. Untuk mendapatkan 10 murid saja dalam setiap ajaran baru, sekolah ini cukup kesulitan. Sehingga, untuk mencapai jumlah murid secara keseluruhan hingga 60 orang, selama ini hanya menjadi mitos. Jika ditarik benang merahnya, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab minimnya jumlah murid yang dimiliki SDN 2 Kajar. Pertama, praktis hampir secara keseluruhan, peserta didik yang bersekolah di SDN 2 Kajar merupakan anak-anak yang tinggal di satu dukuh, yakni di Dukuh Wuni. Jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di dukuh ini yaitu 125. Jika mengandalkan peserta didik dari dukuh ini saja, memang sangat sulit sekolah ini bisa mendapatkan jumlah murid yang banyak. Sebab, ledakan penduduk tak sesignifikan dibanding wilayah lain, yang jumlah KK-nya lebih banyak. Kedua, letak geografis. Dukuh Wuni, geografisnya berada di wilayah terpencil, yang jarak dari pusat desa bisa mencapai 2 kilometer. Belum lagi, infrastruktur jalan menuju tempat ini kondisinya terbilang parah. Apalagi, ketika hujan, yang jalannya sangat sulit untuk dilalui kendaraan. Hal ini juga yang menyulitkan dan menjadikan warga enggan untuk mencapai daerah ini. Sehingga, pusat pendidikan, seperti halnya sekolah dasar hanya diakses oleh masyarakat setempat. Hal lain yang cukup memprihatinkan, adalah, bagaimana tenaga pengajar di SDN 2 Kajar. Dari 9 tenaga pendidik yang ada di tempat ini, 6  di antaranya adalah tenaga honorer, dengan gaji yang hanya Rp 125 ribu per bulan. Jika melihat tuntutan biaya hidup seperti sekarang ini, tentu dengan gaji yang seperti itu, sangat jauh dari ideal. Apalagi, jika mereka sudah berkeluarga dan hanya bergantung pada honor menjadi tenaga pengajar. Tapi, mungkin saja keberadaan mereka sebagai tenaga pengajar bukanlah untuk mengejar materi, tapi lebih kepada pengadian kepada bangsa, pengabdian kepada tanah air mereka dilahirkan, yaitu di Dukuh Wuni yang mereka tinggali saat ini. Keberadaan mereka, sebagai bentuk partisipasi untuk memajukan pendidikan dan mendidik anak-anak agar memiliki pengetahuan yang berkualitas seperti anak-anak yang tinggal di daerah lain. Sebab, guru honorer yang mengajar di SD tersebut diambilkan dari warga setempat, sebagai bentuk pengembangan sumber daya manusia. Lalu, bagaimana pihak sekolah menggaji guru honorer tersebut? Sejauh ini, pihak sekolah masih mengandalkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Yakni diambilkan sebagian dari BOS. Jumlah maksimalnya hanya 15 persen dari jumlah yang dialokasikan kepada siswa. Hal itu disebut kepala sekolah sesuai dengan aturan yang berlaku. Selama ini, dana BOS yang diterima peserta didik sebesar Rp 800 ribu per anak untuk setiap tahunnya. Bagi sekolah kecil seperti SDN 2 Kajar ini, sebenarnya dari segi pengalokasian dana BOS bisa dibilang cukup diuntungkan. Hal ini mengacu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  Nomor 161 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2015. Di mana, batasan sekolah kecil harus memiliki jumlah peserta didik kurang dari 60 siswa, baik SD maupun SMP. Sekolah kecil ini akan mendapat alokasi dana BOS sebanyak 60 peserta didik. Itu artinya, meskipun sekolah ini hanya memiliki peserta didik 42 murid, dana BOS yang diterima tetap untuk 60 peserta didik. Melihat potret pendidikan yang ada di SDN 2 Kajar ini, setidaknya ada beberapa realita yang memaksa kita harus kembali membuka mata, untuk bersama-sama berperan ikut memajukan pendidikan yang ada di tempat ini. Namun setidaknya, pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan harus berdiri paling depan untuk tak sekadar secara teori dalam upaya pemerataan kemajuan pendidikan, tetapi harus ada langkah riil. Infrastruktur jalan, harus menjadi prioritas bagi pemerintah daerah untuk dilakukan perbaikan. Meskipun, jalan di tempat tersebut statusnya adalah jalan desa. Namun, akses jalan untuk menuju tempat ini, sangat penting untuk disentuh pembangunan yang layak. Sehingga, warga tak kesulitan untuk mengakses wilayah menuju atau keluar tempat ini. Akses jalan, menjadi hal yang sangat vital di daerah ini. Sebab, sulitnya medan dan jauhnya tempat ini dari perkotaan, menjadi salah satu faktor banyaknya anak yang putus sekolah. Seorang praktisi pendidikan dan pengelola PKBM yang tempatnya tak begitu jauh dari daerah ini, pernah menyampaikan kepada saya. Ketika anak-anak sudah memasuki pendidikan setara SMP, banyak yang tidak sampai lulus. Ada yang cuma sampai kelas VIII, ada yang sampai kelas VII, bahkan ketika lulus SD tidak lagi meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi. Jauhnya lembaga pendidikan setara SMP dan medan yang sulit, adalah salah satu penyebabnya. Kemudian, yang tak kalah penting adalah gaji guru yang masih sangat minim. Campur tangan pemerintah, dirasa penting untuk ikut memperhatikan kesejahteraan guru. Sehingga, guru juga memiliki semangat yang tinggi untuk berpartisipasi dalam memajukan pendidikan di daerah. Selanjutnya, peningkatan kualitas guru. Pelatihan terhadap guru yang difasiltiasi dinas terkait sangat dibutuhkan. Tak hanya guru dari sekolah ini harus keluar daerah untuk mengikuti pelatihan, tetapi, seyogyanya ada kalanya instruktur yang datang ke sekolah tersebut. Hal ini, mengingat, jika guru harus keluar untuk mengikuti pelatihan, cost yang dikeluarkan tak sedikit. Hal ini tak sebanding dengan gaji yang diterima oleh guru honorer. Harapan kita, ke depan pendidikan di Rembang akan semakin maju, tak terkecuali yang berada di daerah terpencil. Sebab, pemerataan pendidikan harus mutlak. (*)

Baca Juga

Komentar