Jumat, 29 Maret 2024

Mengurai Benang Kusut Pernikahan Dini

Kholistiono
Sabtu, 5 November 2016 10:00:27
Kholistiono [email protected]
[caption id="attachment_99870" align="alignleft" width="150"]Kholistiono cak.kholis@yahoo.co.id Kholistiono
[email protected][/caption] PERNIKAHAN dini, anugerah atau musibah? Kalimat ini pernah menjadi sub judul dalam pemberitaan tentang pernikahan dini yang dimuat MuriaNewsCom beberapa pekan lalu. Inti dari pemberitaan ini adalah tentang praktik pernikahan dini di suatu daerah, yang angkanya masih cukup tinggi dan segala permasalahannya maupun solusi yang ditawarkan. Pernikahan dini memang bukan hanya ada dalam cerita pada sebuah tayangan sinetron. Namun, dalam realitanya, pernikahan dini memang benar-benar ada di sekitar kita, dan angkanya masih terbilang tinggi. Di Rembang misalnya, dalam catatan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana, angka pernikahan dini, khususnya perempuan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, trendnya justru mengalami kenaikan. Tercatat, pada 2013, angka pernikahan perempuan pada usia 10-16 tahun sebanyak 26 orang, tahun 2014, usia 10-16 tahun sebanyak 33 orang dan tahun 2015 usia 10-16 tahun  ada 47 orang. Secara umum, untuk wilayah Indonesia, dari hasil penelitian yang dilakukan BKKBN pada tahun 2014, 46 persen atau setara dengan 2,5 juta pernikahan yang terjadi di setiap tahun di Indonesia mempelai perempuannya berusia antara 15 sampai 19 tahun. Bahkan 5 % di antaranya melibatkan mempelai perempuan yang berusia di bawah 15 tahun. Kemudian, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Plan Internasional, di Indonesia masih banyak terjadi pernikahan pada anak dan remaja. Sebanyak 38 persen anak perempuan di bawah usia 18 tahun sudah menikah. Sementara persentase laki-laki yang menikah di bawah umur hanya 3,7 persen. Selanjutnya, pada riset United Nations Children's Fund (UNICEF) mencatat, satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000 anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun. Maka tak heran apabila United National Development Economic and Social Affair (UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se-ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi. Terkait dengan pernikahan dini ini, jika diurai akar persoalannya, ternyata ada beberapa faktor yang mendorong pelaku ini untuk melakukan pernikahan dini. Mengutip penelitian yang dilakukan Plan International, kuatnya tradisi dan cara pandang masyarakat, terutama di pedesaan, masih menjadi pendorong bagi sebagian anak perempuan menikah dini. Penelitian ini menunjukkan pernikahan anak, termasuk yang berusia 12-14 tahun, masih terjadi karena adanya dorongan dari sebagian masyarakat, orang tua, atau bahkan anak yang bersangkutan. Kemudian, pernikahan anak adalah juga disebabkan rendahnya akses pendidikan, kesempatan di bidang ekonomi, serta kualitas layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi, terutama untuk anak perempuan. Selain itu tingkat kemiskinan juga turut menentukan situasi pernikahan anak. Lalu, bagaimana dengan kondisi yang ada di Rembang? Apakah juga berkaitan dengan hal-hal di atas sebagai penyebab masih tingginya angka pernikahan dini, yang justru mengalami kenaikan, khususnya anak perempuan. Bahkan, jika dilihat dari datanya, usia SD sudah ada menikah. Dalam sebuah artikel yang pernah saya baca menyebutkan, tepatnya di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, ada tradisi keluarga perempuan harus menerima jika ada yang melamar putrinya. Mereka tidak peduli umur anak mereka atau bahkan kesiapan mental. Mereka banyak yang berpendapat, yang penting nikah dulu. Kalau nanti cerai itu urusan belakangan. Selain itu, ada sejumlah alasan lain. Misalnya, ada orang tua yang menikahkan anaknya pada usia dini karena ingin segera lepas dari tanggung jawab sebagai orang tua. Ada pula yang melakukan perjodohan dengan calon menantu yang kaya atau berstatus sosial tinggi. Ada juga alasan orang tua menikahkan anak perempuannya pada usia dini karena ingin menghindari fitnah. Kemudian, dari faktor tradisi yang berlangsung dari generasi ke generasi, ada juga faktor rendahnya tingkat pendidikan sehingga tidak mengerti betul apa saja dampak dari pernikahan dini. Namun, jika kita perhatikan, sebagian kasus pernikahan dini ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, yang mengalami sulitnya akses pendidikan dan juga minimnya perhatian orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Dilihat dari segi sosiologis, pernikahan merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Dan oleh karena itu banyak orang tua yang mengabaikan faktor negatif dari pernikahan dini. Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan usia dini ialah pergaulan yang terlewat bebas yang berdampak pada maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Untuk mengurai benang kusut pernikahan dini ini, perlu adanya peran bersama untuk mencari solusi dalam mengatasinya. Masyarakat perlu memahami mengenai dampak negatif akibat pernikahan dini. Di antaranya dilihat dari dari sisi kesehatan. Beberapa pakar kesehatan menyebut jika leher rahim remaja perempuan masih sensitive, sehingga jika dipaksakan hamil, berisiko menimbulkan kanker leher rahim di kemudian hari. Risiko kematian saat melahirkan juga besar pada usia muda. Kemudian dilihat dari aspek psikologis, pernikahan usia dini, rawan dengan ketidakharmonisan di dalam rumah tangga. Sebab, pada usia yang belum matang, sikap dan emosional seseorang biasanya masih belum stabil. Sehingga, ketika ada suatu masalah di dalam rumah tangga, cara penyelesaiannya tidak terlalu baik. Maka dari itu, peran masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang efek dari pernikahan dini juga harus lebih intens. Peran organisasi yang bergerak dalam bidang remaja, seperti halnya Pusat Informasi dan Konsultasi Remaja (PIKR) yang ada di Rembang juga harus semakin digiatkan. Orang tua, khususnya yang berada di daerah pedalaman, secara perlahan juga harus mendapatkan pemahaman, jika pendidikan sangat penting bagi anak-anaknya. Sehingga, nantinya, sebisa mungkin orang tua mendorong anak-anaknya untuk tetap bersekolah, mengenyam pendidikan sesuai tingkatannya. Lalu bagaimana bagi orang tua yang masuk dalam kategori keluarga kurang mampu atau pra sejahtera? Bukankan saat ini pemerintah memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga pra sejahtera, dengan memberikan bantuan berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan lain sebagainya. Untuk itu, peran pihak sekolah ataupun pihak desa dibutuhkan untuk memberikan sosialisasi, agar orang tua yang terkadang minim informasi terkait pendidikan bisa mengetahuinya, dan mendorong anak-anaknya untuk tetap mendapatkan pendidikan. Pun jika orang tua berpikiran, bahwa anak-anaknya nanti bisa mendapatkan pendidikan setelah menikah, yakni dengan mengikuti paket B atau paket C, namun mereka tidak lagi bisa optimal. Sebab, mereka biasanya sudah terlalu lelah dan tidak lagi konsentrasi, ketika pemikiran sudah terpecah dengan persoalan rumah tangga. Harapannya, tentunya, ke depan angka pernikahan dini dapat semakin berkurang. Mengingat, perkembangan zaman yang semakin modern, menuntut generasi yang tak hanya bisa menjadi pendamping suami, tetapi juga dibutuhkan SDM yang mampu bersaing dan siap pakai dalam dunia kerja. (*)

Baca Juga

Komentar