Selasa, 19 Maret 2024

Stop Pungli dengan Cara Cerdas, Jangan Latah

Supriyadi
Rabu, 19 Oktober 2016 10:06:00
Supriyadi [email protected]
[caption id="attachment_98070" align="alignleft" width="150"]Supriyadi terassupriyadi@gmail.com Supriyadi
[email protected][/caption] PEMBERANTASAN Pungutan Liar (Pungli) saat ini menjadi topik hangat yang sangat yang selalu digemborkan pemerintah. Itu terjadi semenjak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meninjau langsung Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan, 9 Oktober 2016 lalu. Kala itu presiden terlihat kecewa dan geram. Ia pun menginstruksikan untuk berperang dengan pungli. Bahkan, dalam salah satu pidatonya, Presiden mengancam akan menindak tegas pelaku pungli, berapa pun nilainya. Tak hanya kisaran jutaan, Rp 10 ribu pun akan ditindak. Polisi yang saat itu menjadi petugas OTT di kementerian sontak saja menjadi perguncingan publik. Ini mengingat empat hari sebelumnya, tepatnya Rabu 5 Oktober 2016, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menemukan pungli di Samsat Megalang. Ganjar yang sering mendapatkan keluhan masyarakat terkait pungli di samsat tak sengaja lewat di Magelang. Ia pun menyempatkan diri mampir. Begitu sampai, ia mencoba ngobrol dengan salah satu masyarakat. Nah disitulah, Ganjar menangkap basah petugas yang meminta pungli sebesar Rp 50 ribu untuk cek fisik. Aksi Ganjar menemukan pungli ini sebenarnya bukan aksi pertamanya. Minggu, 27 April 2014, ia juga menemukan pungli di Jembatan Timbang Batang. Lagi-lagi, aksinya itu berawal dari aduan masyarakat yang diterimanya melalui media sosial. Saat itu, Ganjar yang menangkap basah para supir truk memberikan uang kepada petugas karena muatan overload, marah besar. Wajar saja, ia belum genap satu tahun menjabat sebagai Gubernur Jateng. Akibatnya, ia sampai menggebrak meja. Aksinya itupun diabadikan melalui video dan diunggah ke YouTube. Sontak saja, gubernur yang memiliki rambut berwarna putih itu terkenal. Meskipun ia dikenal sebagai gubernur yang suka marah. Tapi tidak sampai seperti Ahok lho.. Sejak saat itu, Ganjar pun selalu mengamati aduan masyarakat melalui media sosial. Ia juga berani mengambil tindakan untuk memberhentikan petugas-petugas yang menerima pungli. Meski, ia terbentur dengan prosedur saat memecat PNS. Setelah tiga tahun, per September 2016, aduan tertinggi yang diterimanya ternyata berasal dari Samsat. Biasanya pungli paling banyak berasal dari cek fisik dan perpanjangan STNK yang tak miliki KTP. Aduan tersebut ternyata dibuktikan di Samsat Magelang. Aksi tangkap tangan oleh gubernur itu seolah menjadi pembanding dengan OTT di kementerian. Akhirnya, Kapolri Tito memberi perintah untuk membersihkan pungli di institusinya. Perintah itupun di-breakdown ke berbagai daerah yang akhirnya dipantau terus di media. Di Sumatera Selatan, Kapolda Irjen Pol Djoko Prastowo turun langsung untuk memastikan pungli. Namun caranya sangat unik. Ia menyamar sebagai masyarakat dan sengaja melanggar lalu lintas. Ia pun dihentikan petugas dan diminta ke pos. Di situlah ia dimintai uang damai oleh petugas. Padahal ia ngeyel untuk ditilang tapi petugas bersikukuh minta uang damai. Setelah di beri uang, Djoko yang tanpa pengawalan akhirnya mengaku terkait jatidirinya sebagai Kapolda Sumsel. Selang beberapa saat, atas permintaan Djoko petugas itupun dijemput Propam untuk diadili. Di wilayah eks-Karesidenan Pati, perintah Kapolri itu juga dilaksanakan. Tapi caranya berbeda. Baik, Jepara, Grobogan, Pati, Rembang dan Kudus langsung turun ke lapangan. Khusus Kudus, Kapolres AKBP Andy Rifai memimpin langsung sidak di Samsat dan meminta pendapat masyarakat. Namun, hasilnya nihil. Mereka tak menemukan satupun pungli. Baik itu saat cek fisik ataupun proses perpanjangan STNK. Setelah tak ditemukan, ia pun mengimbau semua petugas untuk tidak melakukan pungli. Tak hanya melarang, Kapolrespun mengancam akan memindah petugas yang kedapatan melakukan pungli. Bahkan, memberi rekomendasi untuk tidak menaikkan pangkat dan menghapus sekolah kependidikan. Hal yang sama juga dilakukan Bupati Kudus Musthofa. Orang nomor satu di Kota Kretek itu juga gagap gempita meunjang aksi ‘stop pungli’. Ia pun melakukan sidak ke Dinas Pendidikan. Sidak itu dilakukan karena mendengar banyaknya pungli di dinas tersebut. Setelah melakukan sidak, Bupati Musthofa juga tak menemukan apa-apa. Hanya jika dikemudian hari ada yang terbukti melakukan pungli, ia mengancam akan memberikan rekom pemecatan kepada pegawai yang bersangkutan. Dari aktifitas di atas, sebetulnya tidak ada hal yang salah dengan apa yang dilakukan di Kudus. Cuman, ada hal yang berbeda. Pertama, seruan Presiden yang akan menindak pungli sekecil apapun, walaupun itu Rp 10 ribu sudah pasti membuat banyak petugas was-was. Artinya, tanpa di sidak, mereka pun akan menghentikan sementara ‘aktivitas’ pungli mereka. Apalagi, media mengekspose besar-besaran terkait hastage #Stop Pungli. Termasuk ancaman untuk mencopot petugas yang diserukan Ganjar di wilayah kerjanya. Dengan kata lain, sidak sudah tak begitu efektif. Butuh inovasi yang berbeda dengan yang biasanya. Jika Kapolda Sumatera Barat turun langsung dengan menyamar, itu tentu tak bisa ditiru oleh Kapolres dan Bupati Kudus. Ini karena wajah keduanya sangat familiar. Praktis para petugas dan pegawai akan sangat mudah mengenali. Akan tetapi ide menyamar itu bisa jadi untuk dilakukan. Tapi subjek yang melakukan bukan kapolres atau bupati. Mereka bisa menggunakan orang kepercayaan untuk menyamar. Misalnya saja, istri, anak, keponakan, atau sanak saudara yang lain. Hal itu juga tak sertamerta dilakukan. Mereka yang menyamar harus mendapat jaminan hukum. Misalkan saja, pelaku pungli yang tidak terima dan mencoba mengolah dan membuat alibi hingga akhirnya malah menuntut balik orang yang menyamar. Dari situ, jaminan hukum sangat penting. Termasuk bagi masyarakat umum yang ingin memberikan laporan terkait adanya pungli. Jangan sampai masyarakat yang keberaniannya mulai tmbuh justru jadi orang yang bersalah karena fakta yang dibolak-balik dan ditutut balik karena mencemarkan nama baik. Selain itu, masyarakat harus dibangun keberaniannya. Baik kepolisian, kejaksaan, TNI selaku penegak hukum memberikan ruang sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mengunggah ke media sosial aksi-aksi pungli yang ditemui. Ini karena pungli yang ada tidak hanya melulu di Kepolisian. Beberapa instansi pemerintahan dari desa hingga kabupaten dan lingkungan sekitar mulai dariparkir hingga jual beli juga dipastikan ada pungli. Jika dalam temuan tersebut ada petugas yang melakukan pungli, pemerintah pun harus berani melakukan tindakan. Sanksi pemecatan tentu sangat tepat. Terlebih, bupati sudah gembar-gembor akan memecat pelaku pungli Untuk memberi efek jera, pemerintah bisa menggandeng media untuk mengekspose besar-besaran orang-orang yang melakukan pungli. Hal itu guna memberi efek jera dalam hal psikis. Siapapun orangnya, tidak ada yang mau diberi lebel negative. Apalagi jika dipecat secara tidak hormat dan diketahui masyarakat luas. Setiap kali beraktivitas, ia pun akan diketahui sebagai pegawai peminta pungli. (*)

Baca Juga

Komentar