Jumat, 29 Maret 2024

Balung Buto Sangiran dan Raja Buto Banjarejo Grobogan

Ali Muntoha
Kamis, 29 September 2016 10:19:19
Ali Muntoha [email protected]
[caption id="attachment_96000" align="alignleft" width="150"]Ali Muntoha muntohafadhil@gmail.com Ali Muntoha
[email protected][/caption] BARANGKALI ketika mendengar kata buto, imajinasi kita akan langsung menangkap bayangan sosok raksasa mengerikan, tinggi besar dengan kepalan tangan sebesar kelapa. Bahkan sebagian orang Jawa akan langsung merujuk sosok Dewata Cengkar, sang raksasa pemakan daging manusia ketika mendengar istilah buto. Memang tak salah, buto atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditulis "buta" memang digunakan untuk menyebut sesosok raksasa, makhluk buas dari mitologi klasik. Di Jawa banyak cerita-cerita atau mitos tentang kisah buto ini. Di kawasan Sangiran dulu muncul istilah balung buto (tulang raksasa) ada juga raja buto yang muncul dari Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan. Balung buto ini menjadi terkenal karena diyakini mempunyai daya linuwih. Bisa jadi jimat, dan bisa mengobati segala macam penyakit, maka tak heran dukun tempo dulu banyak yang mengklaim mempunyai balung buto ini. Kepercayaan ini melekat di hati masyarakat Sangiran dan daerah-daerah lain sejak sebelum tahun 1930-an. Balung buto ini adalah sebuah fosil dari makhluk purba yang sangat banyak ditemukan di kawasan Sangiran, Pati Ayam (Kudus), termasuk juga di Desa Banjarejo. Fosil-fosil dari makhluk purba ini yang menjadi sumber imajinasi terciptanya makhluk-makhluk mitologi seperti buto. Dikisahkan, dulu kala pernah terjadi perang besar antara kesatria yang bernama Raden Bandung melawan kelompok raksasa yang dipimpin Raja Tegopati, di kawasan perbukitan Sangiran. Pertempuran berlangsung sangat sengit hingga banyak raksasa yang gugur dan terkubur di bukit. Tulang belulang raksasa yang terkubur di perbukitan kawasan Sangiran itu yang kemudian menjadi fosil. Ini yang menjadi keperceyaan warga sekitar tentang ditemukannya fosil-fosil yang memiliki ukuran besar yang banyak bermunculan di lereng-lereng perbukitan Sangiran, hingga dinamakan balung buto (Sulistyanto: 2003). Belakangan diketahui jika fosil-fosil tersebut merupakan tulang belulang manusia purba dan tulang hewan-hewan purba lain. Sebenarnya kepercayaan seperti ini tak hanya muncul di Jawa. Keyakinan adanya perang raksasa juga muncul di mitos-mitos Yunani klasik. Fosil-fosil hewan purba raksasa, seperti tulang Nichoria, menjadi sumber inspirasi dan imajinasi bagi berkembangnya mitos tentang makhluk raksasa tersebut. Orang Yunani kuno diperkirakan menemukan fosil tulang tersebut dalam tambang batu bara muda di sebuah daerah yang dikenal dengan nama "cekungan Megalopolis", yang dalam kajian prasejarah dikenal sebagai “medan pertempuran para raksasa”. Banyaknya fosil tulang raksasa di tempat itu memunculkan mitos tetang terbunuhnya seluruh tentara raksasa oleh hantaman petir Dewa Zeus, salah satu dewa utama dalam mitologi Yunani klasik (Mayor, 2000). Keyakinan tentang balung buto ini sedikit-demi sedikit terkikis setelah kehadiran para peneliti asing di Sangiran. Sejak tahun 1930-1940, balung buto mulai disebut sebagai nama fosil. Ini merupakan dampak kedatangan peneliti von Koenigswald, di kawasan Sangiran. Ia membawa perubahan persepsi masyarakat bahwa balung buto itu adalah fosil yang merupakan sisa-sisa kehidupan pada masa lampau. Saat itu fosil menjadi barang yang diburu dan dijualbelikan secara ilegal. Tak beda dengan di Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan. Dulu saat masyarakat di desa ini masih buta tentang benda-benda arkeologi, fosil-fosil makhluk purba juga dijual bebas. Padahal di daerah itu, bisa ditemukan banyak sekali fosil mulai dari gajah purba atau stegodon, fosil kerang, kepala kerbau purba dan lainnya. Bahkan bukti-bukti prasejarah di desa ini jauh lebih istimewa, termasuk masalah mitosnya. Jika di Sangiran hanya terkenal dengan adanya balung buto, di desa ini justru lebih ekstrim lagi. Desa ini diyakini sebagai pusat Kerajaan Medang Kawulan yang dipimpin raja buto pemakan manusia, Prabu Dewata Cengkar. Pusat kerajaan diperkirakan berada di Dukuh Medang, di desa ini. Nama dukuh itu yang mempunyai nama dari kata pertama kerajaan Prabu Dewata Cengkar, yang menjadi salah satu alasannya. Namun, ada alasan-alasan lain yang tak kalah kuat, hingga membuat keyakinan warga tentang kerajaan Prabu Dewata Cengkar itu tak bekurang sedikitpun hingga saat ini. Warga di desa itu, ketika musim tanam tiba berhamburan ke sawah-sawah. Bukan untuk mengolah sawah atau bercocok tanam, melainkan mencari perhiasan emas. Ya, benar-benar perhiasan emas yang dicari. Sudah tak terhitung berapa orang yang mendapat perhiasan emas, mulai dari cincin, kalung atau pernak-pernik emas lainnya. Sebagian perhiasan yang ditemukan, masih ada yang disimpan warga. Namun, banyak di antaranya sudah dijual ke kolektor barang antik. Diyakini, perhiasan-perhiasan itu merupakan sisa-sisa peninggalan kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Tak hanya perhiasan, warga juga menemukan bukti lain yang memperkuat dugaan bahwa Desa Banjarejo merupakan pusat Kerajaan Medang Kawulan. Yakni penemuan pondasi kuno, yang telah ribuan tahun tertimbun tanah. Pondasi yang ditemukan itu terbuat dari tumpukan batu bata. Panjang pondasi yang sudah sempat digali dan terlihat ini ada 40 meter. Membentang dari arah utara menuju ke selatan. Bangunan mirip pondasi itu lokasinya berada di tengah sawah di Dusun Nganggil. Pemilik sawah yang ada bangunan kunonya adalah Sutiyono dan Teguh Hariyadi. Bangunan yang ada di sawah Sutiyono panjangnya sekitar 10 meter dan berada di kedalaman sekitar 50 cm. Sedangkan di sawah Teguh Hariyadi ada 30 meter dan ada dikedalaman 1,5 meter. Batu bata yang ditemukan bentuknya lebih besar dibandingkan batu bata yang lazim saat ini. Panjang batu bata itu 30 cm, lebarnya 20 cm, dan ketebalannya 8 cm. Warnanya juga lebih merah dibandingkan batu bata saat ini. Pondasi ini ada yang menyebut merupakan pondasi bangunan Kerajaan Medang Kawulan, ada juga yang menyebut ini adalah bagian dari candi yang zaman dulu lazim berada di sekitar kompleks keraton. Memang belum ada yang bisa memastikan bahwa temuan pondasi itu benar-benar dari Kerajaan Medang Kamulan. Berdasarkan beberapa literatur, kerajaan Prabu Dewata Cengkar yang disebut sebagai kerajaan Medang memang pernah berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8. Hanya di abad ke-10 kerajaan tersebut beralih ke Jawa Timur. Meski begitu para raja kerajaan ini banyak meninggalkan sejarah berupa prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para raja juga membangun banyak candi. Namun, dalam prasasti tidak ada yang menjelaskan keberadaan pasti tempat kerajaan tersebut saat berada di Jawa Tengah. Terlepas dari benar atau tidaknya Desa Banjarejo ini merupakan pusat kekuasaan Prabu Dewat Cengkar, tapi desa ini layak untuk disandingkan dengan Sangiran. Temuan benda-benda purbakala di desa ini tak kalah banyak, bahkan sangat bervariasi. Tak hanya sekadar fosil hewan purba, benda-benda purba juga sangat mudah ditemui. Bahkan beberapa gerabah peninggalan Dinasti Ming juga pernah ditemukan di desa ini. Ratusan koleksi benda purba itu kini disimpan di museum sederhana di rumah Kepala Desa Ahmad Taufik. Meski sudah tertata, namun kurang representatif, karena museum ini terwujud pun atas inisiatif dan swadaya dari warga. Memang saat ini pemerintah setempat tengah mengupayakan Desa Banjarejo sebagai desa wisata. Terlebih belakangan ini juga muncul sumber air (sendang) dengan air berwarna kebiru-biruan, seperti yang ada di Pegunungan Dieng. Namun seharusnya upaya pemerintah tak hanya sekadar menjadikannya sebagai desa wisata. Lebih jauh bisa menjadikan desa ini sebagai "Desa Purba" sebagai pusat penelitian dan edukasi tentang kehidupan masa lampau. Memang tak mudah, karena dibutuhkan komitmen dan anggaran tak sedikit. Namun jika ada kemauan, perlahan-lahan mimpi menjadikan Desa Purba itu bukanlah hal yang mustahil. (*)

Baca Juga

Komentar