Jumat, 29 Maret 2024

Ketika ‘Sebungkus’ Daging Kurban Bikin Geger Dunia Pendidikan

Kholistiono
Rabu, 28 September 2016 11:00:20
[caption id="attachment_95904" align="alignleft" width="150"]kholistiono-e1 Kholistiono [email protected][/caption] AKSI mogok belajar yang dilakukan seluruh siswa SD Negeri Padaran Rembang beberapa hari lalu merupakan potret permasalahan pendidikan yang terjadi di Negeri ini. Aksi ini tak bakal terjadi jika tak ada pemicunya. Cukup sepele sebenarnya pemicu dari aksi mogok belajar tersebut. Hanya karena pembagian daging kurban. Kok bisa? Begini ceritanya. Sebelum Idul Adha lalu, setiap siswa ditarik iuran sebesar Rp 35 ribu oleh pihak sekolah, yang dimaksudkan untuk membeli hewan kurban. Singkat cerita, pada hari ke-3 Tasyrik, atau penghujung Tasyrik, yakni hari terakhir diperbolehkannya orang untuk berkurban, pihak SD Padaran juga melaksanakan kurban yang dananya diambilkan dari iuran siswa. Pada pelaksanaannya, ternyata, uang hasil iuran tersebut tidak untuk dibelikan hewan kurban berupa kambing atau hewan kurban lainnya. Tetapi, justru dibelikan sudah dalam bentuk daging kambing. Pembelian daging tersebut dilakukan di tempat jagal di desa setempat, dengan harga per bungkusnya Rp 30 ribu. Besaran harga itu mencuat ketika sejumlah orang tua murid dapat informasi dari jagal, bahwa pihak sekolah membeli daging untuk siswa dari tempatnya. Dari sinilah kemudian muncul protes dari orang tua siswa terhadap pihak sekolah, khususnya kepala SD Padaran. Sebab, pihak sekolah dinilai sudah melakukan korupsi mengenai pembelian daging. Karena di situ ada selisih Rp 5 ribu untuk per bungkusnya, dan juga kebijakan yang diambil kepala sekolah untuk iuran kurban, tanpa sepengetahuan komite. Mendapat protes seperti itu, kepsek berdalih jika kelebihan uang itu sebagai cadangan kalau ada kekurangan, dan berjanji untuk mengembalikan kelebihan uang tersebut. Namun ternyata, permasalahan itu tak lantas berhenti begitu saja. Dua pekan kemudian terjadilah protes kembali yang dilakukan orang tua, bahkan anak-anak “dipaksa” untuk melakukan aksi mogok belajar. Kali ini, tak hanya persoalan selisih uang iuran kurban Rp 5 ribu.Namun, ternyata merembet ke pelbagai persoalan lainnya yang disebut terjadi ketidaktransparansian yang dilakukan kepala sekolah. Di antaranya, ada pemotongan beasiswa dan juga pembelian seragam batik siswa baru ataupun lama, yang dinilai tidak wajar. Tak tanggung-tanggung, mereka juga menuntut kepsek dicopot atau dipindah dari SD Padaran. Sontak saja, persoalan ini langsung menyebar, dan membuat dunia pendidikan, khususnya di Rembang geger. Berbagai pihak pun langsung turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebab, jika tidak, maka sangat mungkin aksi mogok belajar akan kembali terjadi. Ketua DPRD, Dinas Pendidikan dan pihak terkait lainnya melakukan mediasi antara kedua belah pihak. Melihat kasus ini, sebenarnya menjadi sebuah ironi dan preseden buruk bagi dunia pendidikan. Meskipun bisa disangkal tidak semua sekolah melakukan praktik-praktik pungutan untuk kepentingan pribadi, namun, peristiwa ini menunjukkan jika seolah “melegitimasi” masih maraknya pungutan liar di sekolah. Di sisi lain, dalam konteks permasalahan yang terjadi di SD Padaran, hemat saya pelibatan anak dalam persoalan ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Cukuplah orang tua yang melakukan tugasnya sebagai orang tua yang bijak dalam menyelesaikan permasalahan. Tidak perlu “memaksa” anak untuk tidak masuk sekolah dan mogok belajar. Sungguh sangat disayangkan, anak-anak yang memang seharusnya belajar, malah menjadi “korban” egoisme orang tua. Saya tidak bisa membayangkan, jika orang tua dan pihak sekolah sama-sama keras. Bagaimana jadinya? Tentunya anak-anak justru yang menjadi korban di sini. Mereka tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti biasanya, dan ini sebuah kerugian. Kemudian, permasalahan yang terjadi di SD Padaran, hendaknya juga bisa menjadi pembelajaran dan evaluasi bagi dunia pendidikan. Bahwa keberadaan lembaga pendidikan adalah sebagai tempat untuk mendidik anak-anak dan remaja, agar menjadi generasi bangsa yang cerdas, kreatif dan membentuk karakter siswa yang berkepribadian santun, berakhlak mulia serta bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Kurang tepat jika lembaga pendidikan, dijadikan tempat untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan hendaknya juga dilakukan. Di sini butuh peran semua pihak. Masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk keberlangsungan pendidikan agar berjalan sesuai dengan tujuannya. Komite sebenarnya memiliki peran penting dalam hal pengawasan, karena merupakan pihak yang paling dekat penentuan kebijakan sekolah. Jangan justru, komite terpengaruh dan manut begitu saja terhadap kebijakan pihak sekolah yang bisa berpotensi merugikan orang tua maupun siswa. Jangan kemudian sebutan komite hanya ada dalam daftar struktur organisasi di sekolah saja. Selanjutnya, Dinas Pendidikan sebagai instansi yang membawahi berjalannya roda pendidikan di daerah, hendaknya juga bisa memastikan bahwa pendidikan di wilayah tugasnya berjalan dengan baik. Pun demikian, kepala daerah juga harus membuat kebijakan yang memang pro pendidikan. Sehingga, visi dan misi yang biasanya digaungkan kepala daerah ketika akan mencalonkan diri, yakni mewujudkan pendidikan di daerahnya lebih maju, benar-benar terwujud. Di antaranya, meningkatkan kesejahteraan guru. Sehingga, praktik-praktik pungutan liar di sekolah tidak terjadi lagi, atau minimal tidak merajalela. Yang tak kalah penting adalah, bagaimana kesadaran guru untuk menjalankan tugasnya, yang mendidik anak-anak. Artinya, butuh kemauan agar ilmu yang diberikan kepada anak-anak, bukan semata untuk mencukupi kebutuhan material, tetapi memang mengajar adalah panggilan jiwa. Butuh keikhlasan dan cara kreatif untuk bisa menjadi guru yang professional. Akhirnya, semoga wajah pendidikan di Negeri ini baik dan semakin maju (*)

Baca Juga

Komentar