Jumat, 29 Maret 2024

Jangan Akhiri Hidupmu dengan Bunuh Diri

Kholistiono
Kamis, 22 September 2016 10:39:31
Kholistiono [email protected]
[caption id="attachment_94782" align="alignleft" width="150"]Kholistiono cak.kholis@yahoo.co.id Kholistiono
[email protected][/caption] MASIH ingat dengan seorang bocah kelas VI Madrasah Ibtidaiyah (MI) Taris Tambahmulyo, Kecamatan Jakenan, Pati, yang tega mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri? Peristiwa ini terjadi tepatnya tiga hari lalu. Mendapati kenyataan seperti itu, saya dan mungkin sebagian besar masyarakat yang mengetahui peristiwa ini akan terenyuh dan sedih, ketika membayangkan anak yang masih berusia 12 tahun harus meninggal sia-sia. Konon ceritanya, bocah berinisial MSFA ini ditemukan ibunya di kamar sudah dalam keadaan tergantung tali pramuka  dan sudah tak bernyawa. Motif bocah yang masih sangat belia tersebut untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri juga masih simpang siur. Ada yang menyebutkan jika gara-gara bocah itu dituduh mencuri uang Rp 20 ribu oleh teman-temannya. Ada juga yang meyebut ingin dibelikan gadget, namun dijanjikan orang tuanya dalam waktu dekat. Ada pula yang menyebut, kalau orang tuanya melarang bocah itu untuk bermain balap Burung Dara atau istilahnya keplekan. Tapi, apapun alasannya ketiganya terkesan cukup sepele, sampai harus mengakhiri hidup dalam usia yang masih belia. Melihat usianya yang masih 12 tahun, sebenarnya sangat tidak “lumrah” sampai berpikiran senekat itu. Lalu siapa yang dipersalahkan jika ada anak sebelia itu nekat melakukan tindakan sejauh itu dengan harus mengakhiri hidupnya secara tragis? Kita tahu, kasus bunuh diri yang dilakukan anak sekolah memang bukan kali ini saja, namun, jika masih dalam jenjang pendidikan sekolah dasar, saya masih belum menemukan catatan ada kasus serupa, khususnya di Jawa Tengah. Catatan yang dimiliki Kepolisian Daerah Jawa Tengah, pada tahun 2014, terdapat ada 301 kasus bunuh diri, yang terjadi di berbagai wilayah di Jateng. Jumlah itu disebut-sebut ada penurunan di banding tahun 2013 yang mencapai 340. Pada tahun itu, Jawa Tengah merupakan daerah yang tertinggi dalam kasus bunuh diri. Menyusul di belakangnya yaitu Polda Jawa Timur, hingga September 2014 sebanyak 84 kasus, Polda Metro Jaya 55 kasus, Polda Bali 39 kasus, dan Polda Jawa Barat 27 kasus. Pada realitasnya, kita menemukan dari sebagian kasus bunuh diri itu ada anak sekolah, meskipun bukan jenjang pendidikan setingkat sekolah dasar. Namun demikian, sungguh sangat ironi jika bunuh diri menjadi pilihan bagi remaja dan terkecualis orang tua, sebagai “cara” menyelesaikan masalah. Apalagi hal itu menimpa pada anak-anak. Sungguh menjadi kekhawatiran tersendiri, jika hal ini malah jadi trend. Menyaksikan realita seperti itu, lalu muncul pertanyaan, seberapa jauh sebenarnya keberhasilan kita, yakni orang tua, guru dan juga masyarakat menempa karakter anak-anak menjadi pribadi yang tidak mudah putus asa. Sebab, hal seperti ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama. Orang tua, guru, teman, dan lingkungan memiliki peran dalam pembentukan karakter anak dan memengaruhi pola perilaku anak. Begitupun dengan mental anak, juga terbentuk dari berbagai faktor. Baik itu dari keluarga, sekolah maupun lingkungan sekitar. Kemudian, jika kita berbicara tindakan bunuh diri, tentunya ada pelbagai faktor penyebabnya. Secara umum, hal itu biasanya disebabkan karena depresi. Depresi ini bisa diakibatkan karena perasaan ketidakbermaknaan yang dimiliki seseorang, sehingga bunuh diri menjadi menjadi jawaban atas ketidakbermaknaan tersebut. Namun demikian, jika kita melihat kasus bocah kelas VI asal Desa Tambahmulyo Pati ini, hemat saya, ada kemungkinan tayangan televisi juga turut serta berperan, hingga membuat bocah se kecil itu nekat memilih untuk bunuh diri ketika menurutnya dirinya tak lagi “bermakna”. Apakah itu di lingkungan keluarga, sekolah ataupun di hadapan teman-temannya. Memang tayangan televisi bukan faktor utama, tetapi memegang peranan penting, sehingga anak-anak selalu meniru jika dalam kondisi tertekan. Kenapa saya memfokuskan televisi. Karena, tayangan televisi sangat mudah diakses, baik itu anak-anak maupun orang tua. Setiap rumah, hampir seluruhnya terdapat televisi. Tak jarang pula, televisi menayangkan pelaku bunuh diri secara jelas, yang tak sedikit tayangan tersebut dilihat oleh anak-anak. Kerapuhan dan ketidaklabilan emosi anak, bisa memengaruhi anak-anak. Mereka bisa saja terinspirasi dari tayangan tersebut, bahwa mereka bunuh diri itu agar semua masalah yang dihadapi selesai. Anak-anak masih sebatas melihat dan mendengar informasi, dan tanpa mempertimbangkan dampak dari informasi itu. Pengaruh tayangan televisi sangat kuat berdampak dalam perilaku anak-anak. Tidak sedikit, anak-anak yang meniru dari tayangan yang dilihatnya tersebut. Ketika dulu lagi boomingnya tayangan smackdown, kemudian muncul berbagai kasus kekerasan yang dilakukan anak di berbagai daerah di Indonesia, yang meniru adegan smackdown. Kemudian, ada pula anak berusia 12 tahun di Jakarta pada 2009 lalu, ditemukan di dalam kamarnya dalam kondisi tergantung di ranjang dengan tangan terikat, dan sudah tak bernyawa. Motifnya, diduga karena menirukan adegan Limbad, yang ketika itu sering muncul pada tayangan televisi. Banyaknya sinetron yang kurang mementingkan kualitas edukasi terhadap masyarakat, juga seringkali justru menjadi trend di dalam masyarakat. Bahayanya, anak-anak usia sekolah dasar bahkan usia dini, terkadang juga berupaya mempresentasikan perilaku kurang pantas yang ada dalam sinetron tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, menjadi sebuah keharusan sebenarnya bagi orang tua untuk melakukan pendampingan terhadap anak ketika menonton tayangan televisi. Orang tua harus memiliki peran untuk mengarahkan dan memberikan wawasan kepada anaknya, mengenai tayangan yang ditonton tersebut, layak untuk dipresentasikan ke dalam kehidupan sehari-hari atau tidak. Orang tua juga harus mengontrol, tayangan yang layak untuk ditonton dan tidak. Bukan malah sebaliknya, terkadang orang tua justru yang secara tidak langsung mengajarkan kepada anaknya untuk melihat tayangan televisi yang kurang bermutu. Sebab, orang tua terkadang lebih asyik di depan televisi ketika muncul tayangan sinetron atau lainnya, yang memunculkan adegan-adegan penuh dramatisasi, dan jauh dari realita kehidupan. Orang tua, juga tanpa mempertimbangkan, apakah tayangan tersebut pantas ditonton untuk anak-anak atau tidak. Yang tak kalah penting adalah, anak merupakan individu yang sangat memerlukan kepedulian dan kasih sayang. Kepedulian tidak hanya dari sekolah, tetapi perlu juga kepedulian dari teman, orang tua dan lingkungannya. Organisasi di luar sekolah bisa menjadi salah satu tempat anak mencari jati diri. Selain itu harus ditanamkan pada anak konsep diri, yaitu menyadari sepenuhnya mereka harus menjalani hidup. Konsep diri ini adalah cara pandangan seseorang terhadap dirinya. Anak sangat membutuhkan cinta, kasih sayang, bimbingan dan kesempatan. Orang tua harus memperhatikan perkembangan karakteristik anak. Pada umumnya, prestasi yang diperoleh anak merupakan salah satu bukti bahwa kebutuhan dasar hidup, baik material maupun spiritual, secara prinsip telah terpenuhi. Anak yang bahagia hati dan pikirannya akan terlepas dari pikiran dan tindakan negatif, apalagi bunuh diri. Harapannya, tentunya kasus bunuh diri seperti yang dilakukan bocah kelas VI di Pati tidak terjadi lagi pada anak lainnya. Sebagai bangsa dengan dasar Pancasila dan agama yang kuat, tidak sepantasnya anak-anak muda Indonesia dan juga anak-anak menjadikan bunuh diri sebagai jalan pintas menyelesaikan masalah. Mengutip perkataan Junanto Herdiawan, seorang penulis buku, makna hidup bisa dicari pada keimanan pada yang Maha, ataupun hubungan yang hangat dengan keluarga, sahabat, maupun lingkungan. Kita semua menyadari bahwa hidup tanpa makna akan membawa pada ketidakbahagiaan. Manusia, bukanlah atom yang hilang tanpa arah di alam semesta (man is not a lost atom in the universe), tapi adalah juga pribadi-pribadi yang mencari makna. (*)

Baca Juga

Komentar