Jumat, 29 Maret 2024

Memahami Aksi Para Penagih Janji

Supriyadi
Rabu, 14 September 2016 10:15:26
Supriyadi [email protected]
[caption id="attachment_94447" align="alignleft" width="150"]Supriyadi terassupriyadi@gmail.com Supriyadi
[email protected][/caption] PEKAN lalu, tepatnya Hari Rabu (7/9/2016) sejumlah Warga Mijen, Kecamatan Kaliwungu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Desa Mijen (FKMDM) melakukan aksi blokade Jalan Lingkar Utara. Mereka merasa jengah lantaran janji manis Pemkab Kudus terkait pengadaan sertifikat sebagai ganti rugi lahan yang digunakan untuk pembuatan jalan, tak kunjung terealisasi. Mereka juga kuatir, Pemkab bakal ingkar janji. Pikiran tersebut muncul setelah puluhan warga yang dijanjikan sertifikat sudah bersabar untuk menunggu selama 14 tahun. Tepatnya sejak 2002 lalu. Karena itu, mereka nekad untuk menutup jalan Lingkar Utara Kudus yang tengah dalam pekerjaan. Menutupnya pun sangat sederhana. Mereka menggunakan bambu. Panjangnya sekitar enam meter dan ditopang bambu lagi hingga berbentuk segitiga. Untuk menguatkannya, warga juga menggunakan tali seadanya. Ada rafia, tali dari bambu, hingga rotan. Setelah itu blokade dibalut dengan atribut demo berisi tuntutan-tuntutan warga. Jika dilihat dari bahannya itu, enam petugas Satpol PP sudah pasti bisa menyingkirkannya dengan mudah. Namun, pemkab sangat tahu langkah itu akan memperuncing suasana. Apalagi, mereka menempatkan beberapa warga untuk berjaga-jaga blokade yang dibuat dibongkar atau tidak setelah seharian (7/9/2016) berdemo. Akibatnya, pembangunan jalur lingkar tersebut terganggu. Pembangunan dalam satu hari itu mandek. Kalaupun ada aktivitas pembangunan juga tidak maksimal. Para pekerja tentu kuatir jika mereka menerobos, nyawa akan jadi taruhannya. Maklum saja, puluhan warga yang melakukan aksi tentu sudah berfikir masak-masak tentang apa yang dilakukan. Termasuk melawan orang yang mencoba untuk membongkar blokade yang dibuat. Melihat hal itu, pemerintah baru kalang kabut. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kudus yang bertugas untuk membuat sertifikat tanah langsung turun di lapangan. Mereka menggunakan seribu bujuk rayu supaya blokade dihentikan. Tak hanya BPN, dua dinas (Cipkataru dan BPESDM) Kudus yang bertugas untuk menyelesaikan pembangunan jalur lingkar tersebut juga turun gunung. Termasuk Camat, Kepala Desa beserta perangkat. Meski dirayu, keinginan warga yang demo ternyata tak goyah.  Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah seolah-olah sudah luntur. Mereka juga sudah tak ingin dibodohi dengan janji-janji untuk kesekian kali dan mengancam akan memblokade jalan hingga tuntutan terealisasi. Ancaman tersebut ternyata benar-benar dilakukan. Selasa (13/9/2016) blokade tersebut ternyata masih ada. Aksi lobi yang dilakukan Pemerintah ternyata buntu. Warga pun masih tetap bersikukuh pada pendiriannya. Berkaca dari hal itu, sebenarnya ada dua pertanyaan yang justru timbul. Pertama, kepekaan pemerintah dan kedua adalah komunikasi dengan masyarakat. Secara matematis, waktu 14 tahun bukanlah waktu yang singkat. Dengan belasan tahun itu, BPN tentu bisa menyelesaikan pengukuran tanah yang dimiliki 92 warga tersebut. Bahkan, sertifikat sudah jadi. Hanya, mungkin mereka (BPN) lupa kalau ada tanggungan membuat sertifikat tanah di kawasan tersebut. Atau, mereka menganggap masyarakat lupa untuk membuat sertifikat sebagai ganti rugi tanah tersebut. Ah.. entahlah Di luar aspek itu, BPN salah besar juka alasan yang dipakai untuk menghibur warga adalah proses pembuatan sertifikat membutuhkan waktu lama. Warga yang berdemo sudah kenyang dengan waktu yang diberikan ke BPN. Jika 14 tahun kurang harus berapa lama lagi? Dengan kata lain, warga membutuhkan action langsung. Dua dinas baik Cipkataru dan BPESDM bersama BPN harusnya langsung mencocokkan data untuk kelapangan. Siapa saja yang tanahnya masuk dalam proyek Jalur Lingkar Utara langsung dipetakkan. Setelah dipetakkan langsung diukur dan diproses. Setiap warga yang tercantum, diminta ke balai desa atau ke kantor BPN untuk melengkapi berkas. Setelah itu, warga diberi penjelasan tentang rentan waktu untuk mengambil sertifikat. Terlebih, sebagaimana kita ketahui proses pembuatan sertifikat memang tidak bisa instan. Setidaknya ada waktu (bisa satu atau dua pekan bahkan satu bulan) dari pengukuran hingga jadi. Tergantung sawah yang dimiliki. Tapi harus ditepati, jangan molor lagi. Langkah tersebut tentu bisa membuat  warga yang melakukan demo lebih percaya. Jika masih tidak percaya, pemerintah harus berani membuat surat perjanjian hitam di atas putih menggunakan materai terkait pengadaan sertifikat. Hal itu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Diakui atau tidak setelah menunggu 14 tahun kepercayaan masyarakat tersebut tentu sudah luntur. Artinya, masyarakat pun bisa beraktifitas kembali dan pembangunan sarana publik berupa jalur lingkar utara bisa kembali dikerjakan. (*)

Baca Juga

TAG

Komentar