Jumat, 29 Maret 2024

Catatan yang Tercecer dari Pemilihan Duta Wisata Grobogan

Kholistiono
Rabu, 7 September 2016 11:07:29
Kholistiono [email protected]
[caption id="attachment_93753" align="alignleft" width="150"]Kholistiono cak.kholis@yahoo.co.id Kholistiono
[email protected][/caption] PERHELATAN pemilihan duta wisata Grobogan 2016 yang digelar baru-baru ini menyisakan persoalan. Pihak penyelenggara mendapat beragam protes dari  masyarakat maupun orang tua peserta pemilihan Mas dan Mbak Grobogan. Protes ini memuncak ketika yang dinobatkan sebagai Mas Grobogan diketahui  bukan warga asli Grobogan, tapi dari luar daerah, tepatnya dari Kabupaten Kudus. Protes ini kemudian merembet bukan hanya persoalan asal usul pemenang Mas Grobogan, namun juga ke hal lainnya. Di antaranya, mengenai persyaratan tinggi badan peserta yang disebut-sebut ada yang tidak memenuhi standar namun tetap diloloskan, hingga persoalan teknis waktu pelaksanaan grand final yang dimajukan, serta tempat pelaksanaan grand final yang juga dipindah. Pun demikian, protes yang dilayangkan usai palu diketok, lazimnya dalam sebuah kompetisi memang cukup sulit untuk kembali diubah. Sebab, tim penilai memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi jawara dalam kompetisi itu. Begitu juga pada pemilihan duta wisata Mas dan Mbak Grobogan 2016. Meski ada beberapa pihak yang tidak puas dengan keputusan tim penilai, namun, hal itu sudah diputuskan dan tidak dapat diganggu gugat. Tapi yang perlu menjadi catatan, hasil yang telah disuguhkan pihak penyelenggara dalam pemilihan duta wisata kali ini meninggalkan kesan “kecacatan” di mata publik. Butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi yang “cacat” tersebut menjadi normal kembali.  Sebab, ada isu yang sangat vital dalam hal ini, yaitu menyangkut putra daerah dan bukan putra daerah. Kondisi ini tentu bisa menjadi preseden buruk bagi perhelatan duta wisata. Masyarakat bisa tidak lagi respek terhadap duta wisata terpilih. Cukuplah sudah Zaskia Gotik yang mendadak jadi Duta Pancasila gara-gara menghina Pancasila atau Sonya Depari yang juga secara mengejutkan didaulat jadi Duta Anti Narkoba, yang tentunya hal ini bisa dipastikan sebagian besar masyarakat kurang respek. Bukan bermaksud untuk membandingkan duta wisata Grobogan dengan duta-duta seperti itu, sebab, tentulah ini sangat berbeda. Lolosnya duta wisata terpilih yang nota bene bukan berasal dari Grobogan, hendaknya menjadi pembelajaran bagi penyelenggara. Dalam konteks ini, penyelenggara bisa dikatakan “kecolongan” dengan mengegolkan yang bersangkutan keluar sebagai pemenang, yang akibatnya justru menuai kontoversi. Hal ini barangkali tidak akan terjadi, jika sejak awal penyelenggara sudah mengantisipasi dengan membuat aturan atau persyaratan secara jelas dan tegas. Persyaratan domisili peserta misalnya. Ada rincian secara jelas dan tertulis seharusnya, yakni, ada aturan berapa lama minimal peserta tersebut tinggal di Grobogan, jika memang peserta itu berasal dari luar daerah. Setidaknya minimal 1 tahun atau lebih, peserta tinggal di Grobogan. Persyaratan tersebut bukan dimaksudkan untuk mengganjal peserta dari luar daerah yang memiliki potensi dan ingin juga berpartisipasi dalam memajukan Grobogan, tetapi, hal ini untuk meyakinkan jika peserta tersebut telah mengenal lebih jauh mengenai Grobogan. Sehingga, nantinya akan lebih mudah untuk mengemban tugas.  Sebab, duta wisata merupakan atraksi wisata yang bertujuan melestarikan budaya daerah dan sekaligus sarana pengembangan potensi bakat, kreativitas, kecerdasan para generasi muda untuk menjadi figur yang dapat berperan dalam mempromosikan kekayaan seni, budaya dan pariwisata. Kemudian, penilaian terhadap duta wisata juga bukan hanya dilihat dari pengetahuan dan kematangan individu secara personal, tetapi yang lebih penting adalah sosial. Seorang duta wisata, seyogyanya telah telah berbuat banyak untuk kemajuan daerahnya dan bukan sekadar berteori saja berdasarkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam waktu yang relatif singkat. Yang tak kalah penting adalah mengenai persyaratan tinggi badan peserta, yang juga menjadi sorotan. Antisipasi minimnya peserta, yang salah satunya disebabkan faktor tinggi badan tentu dapat dilakukan. Jika mengira persyaratan tinggi badan terlalu sulit untuk terpenuhi, seharusnya, ada toleransi sejak awal untuk mengurangi persyaratan tersebut. Toleransi itu harus diketahui semua peserta atau masyarakat. Sehingga, tak ada kesan upaya menggampangkan mengubah aturan ketika kompetisi sudah berjalan dengan dalih jumlah peserta minim. Selanjutnya adalah, bagaimana upaya mengembalikan perhelatan pemilihan duta wisata ini ke khittahnya. Yakni sesuai tujuan awal digelarnya pemilihan duta wisata, dan bukan hanya sebagai rutinitas pemerintah daerah untuk membukukan program, tanpa melihat secara jauh mana efektivitas program tersebut berjalan. Tujuan pemilihan duta wisata sendiri sebenarnya adalah untuk memilih seorang ikon yang bisa mewakili kebudayaan daerahnya.  Diakui atau tidak, sejauh ini, pemilihan duta wisata masih terkesan sekadar seremonial saja. Mereka yang terpilih, tugasnya juga masih samar-samar. Setelah event pemilihan duta wisata selesai, mereka tidak diberdayakan dengan maksimal untuk keperluan instansi terkait, dalam mempromosikan kebudayaan atau wisata, sehingga pada akhirnya, mereka hanya terlihat dan muncul pada saat acara-acara seremonial pemerintahan saja. Perlu ada sebuah kebijakan dari pemerintah, agar keberadaan duta wisata bisa maksimal. Status duta wisata yang sebagian besar adalah masih pelajar atau mahasiswa , menjadi kendala tersendiri untuk lebih fokus mengembangkan ide dan berkontribusi terhadap daerah. Maka, perlu dipertimbangkan, jika ke depan salah satu syarat duta wisata sebaiknya minimal adalah mahasiswa. Ketika terpilih, nantinya juga ada upaya agar instansi terkait bisa meminta keringanan dari pihak kampus untuk memberikan izin kepada duta wisata, agar bisa lebih fokus diberdayakan oleh dinas dalam mengenalkan budaya atau wisata yang ada di daerah tersebut. Harapannya, nantinya duta wista bisa semakin berkembang dan benar-benar berfungsi sebagai duta pariwisata dan duta budaya. Walaupun hal itu tidak mudah bagi duta wisata, apalagi dengan fasilitas dan dukungan yang masih terbilang minim, tetapi apabila ada komitmen dari semua pihak, bukan hal yang mustahil hal itu bisa terwujud. (*)

Baca Juga

Komentar