Jumat, 29 Maret 2024

Menanti Gebrakan Pemda dalam Membangun Budaya Literasi

Kholistiono
Rabu, 24 Agustus 2016 11:11:35
[caption id="attachment_92269" align="alignleft" width="150"]kholis1 Kholistiono [email protected][/caption] AKHIR-akhir ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang cukup santer menggaungkan budaya literasi. Berbagai wacana dan program terkait upaya menumbuhkan budaya literasi di Kota Garam tersebut coba dimunculkan. Di antaranya Gerakan Literasi Sekolah dan Program Menciptakan Insan Cakap dan Ramah Literasi (Microlite). Bahkan, untuk memperjelas idenditas sebagai daerah yang peduli terhadap budaya literasi, Rembang menasbihkan diri atau ditasbihkan sebagai kota literasi. Namun demikian, dalam praktiknya, program-progam yang diciptakan tersebut hingga kini hasilnya belum berjalan secara optimal. Jika berkunjung ke Kabupaten Rembang, cobalah sempatkan untuk mampir ke Perpustakaan Umum Daerah. Suasana yang cukup lengang bisa ditemui di sana.Bukan soal etika ketika di sebuah perpustakaan untuk tidak menciptakan suasana riuh, tetapi jumlah pengunjung bisa dikatakan masih minim. Dari data yang ada, jumlah pengunjung Perpusda hanya berkisar  50 orang per harinya. Jumlah tersebut, tentunya sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk di Rembang, khususnya mereka yang tercatat sebagai pelajar dan mahasiswa. Sebab, program-program literasi yang diusung pemerintah, sasarannya sebagian besar adalah untuk generasi muda. Pun, jika hal tersebut dinilai bukan sebuah tolok ukur dari realisasi program peningkatan literasi, cobalah berjalan keliling di sudut-sudut kota atau perkampungan yang ada di Rembang.  Amatilah, pada waktu-waktu senggang, atau pada jam-jam waktu mengaji yakni usai Magrib. Anda akan lebih banyak menemukan rumah-rumah yang televisinya tetap menyala, dibandingkan melihat orang membaca Alquran, buku,Alkitab ataupun lainnya. Warga masih terkesan cuek dan tak peduli dengan upaya peningkatan budaya literasi yang dilakukan pemerintah. Atau barangkali, memang program tersebut tak menyentuh secara optimal di lapisan masyarakat atau bahkan masyarakat belum tahu sama sekali dan tak paham mengenai budaya literasi. Istilah literasi sendiri erat hubungannya dengan membaca, melek aksara  dan tulis menulis. Jika diartikan secara kekinian, literasi juga bisa diartikan melek teknologi, melek politik, cerdas dalam bersikap dan peka terhadap lingkungan. Secara sederhana, juga bisa dimaknai yaitu bagaimana seseorang memiliki kemampuan untuk bersikap kritis, jeli membaca kondisi yang ada dan mampu mengaktualisasikan problematika ke dalam tulisan maupun karya. Dalam konteks ini, sebagai daerah dengan jumlah penduduk yang lebih dari 600 ribu jiwa, dengan jumlah lembaga pendidikan  formal dan non formal yang cukup banyak, apakah kesadaran budaya literasi memang belum baik untuk di Rembang? Bisa dipastikan belum. Meskipun, pemda melalui Perpusda mengklaim jika dari 287 desa yang ada di Rembang, 60 persennya sudah memiliki perpustakaan. Namun, keberadaan perpustakaan tak bisa untuk menggambarkan adanya peningkatan minat baca dan tulis, jika dalam pengelolaannya juga kurang maksimal. Jika merujuk pada sebuah data global yang dilansir  oleh Central Connecticut State University di New Britain, AS, menempatkan lima negara pada posisi terbaik untuk tingkat literasi, yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia.Sedangkan untuk Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara, hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara di Afrika. Lalu, untuk Kabupaten Rembang, ada juga data yang menunjukkan jika dari 600 ribu penduduk di Rembang, 17 ribu di antaranya masih buta aksara. Data ini disampaikan Direktur Pendidikan, Keaksaraan dan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Erman Syamsudin. Data di atas menunjukkan jika masih lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia.Begitupun dengan di Rembang. Diakui atau tidak, saat ini kita masih mengandalkan apa yang dilihat (visual) dan didengar (audio) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kita belum bisa melakukan sesuatu dari pemahaman membaca. Lalu, apakah dalam hal ini pemerintah daerah layak dipersalahkan? Sebenarnya tak perlu mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, karena ini tanggung jawab bersama.  Karena, budaya sadar literasi bukan sesuatu hal yang bisa terealisasi secara tiba-tiba. Beberapa program pemda terkait literasi sebenarnya merupakan langkah untuk memulai. Ihtiar pemda melahirkan program atau kebijakan tersebut, tentunya adalah niat baik. Namun demikian, kebijakan yang hanya sebagai formalitas dan program kerja saja, tentu tidak akan maksimal. Pemda seharusnya juga mengawal sekaligus mengevaluasi. Sehingga program dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Butuh kerja keras, konsistensi, kerja sama dan gebrakan dari pemda untuk menciptakan kecintaan terhadap budaya literasi. Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang diluncurkan pada 2015 lalu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang ketika itu masih dijabat Anies Baswedan, dengan tujuan menumbuhkan budi pekerti remaja melalui budaya literasi, hendaknya diimplementasikan hingga ke daerah dengan baik. Pemda, dalam hal ini Dinas Pendidikan atau instansi lain yang berkaitan, harus konsisten mengawal program tersebut, meski kini menteri sudah berganti. Untuk sekolah, program membaca 15 menit sebelum dimulai kegiatan belajar mengajar juga hendaknya tetap diberlakukan. Buku yang dibaca siswa bukan buku mata pelajaran, tapi bebas. Apakah itu tentang sastra Indonesia atau luar negeri, dan bisa juga bacaan lain yang pantas untuk dibaca. Hal ini, sebaiknya juga berlaku terhadap guru. “Pemaksaan” seperti ini, secara perlahan bisa berimbas terhadap kemauan dan kecintaan terhadap membaca ataupun menulis. Hal lain yang bisa diterapkan di sekolah adalah menugaskan siswa untuk mereview kembali sebuah buku, dengan bahasa bercerita masing-masing siswa. Cara ini bisa dilakukan setiap satu pekan sekali, dua pekan atau satu bulan sekali. Artinya, setiap siswa harus menyelesaikan review satu judul buku sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah ditentukan. Usai mereview, siswa juga harus mempresentasikan hal itu di hadapan teman-temannya. Sehingga, apa yang dibaca dan ditulis benar-benar dipahami siswa. Perlu dipertimbangkan pula, program ini dimasukkan dalam penilaian. Efek positif dari program ini adalah, bagaimana siswa dituntun untuk membiasakan diri membaca dan menulis. Kemudian, mengasah kemampuan daya ingat siswa, melatih kemampuan untuk cepat memahami inti dari pokok persoalan dan melatih kreativitas berpikir siswa. Kemudian, penting juga bagi pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas, agar memudahkan masyarakat dalam mengakses bacaan. Misalnya saja, di bank, puskesmas, satlantas, rumah sakit, kantor pelayanan, dan lain sebagainya, harus menyediakan buku bacaan. Sehingga, warga yang sedang mengantre  menunggu pelayanan dapat memanfaatkan waktu dengan membaca. Selanjutnya, perlu sebuah payung hukum untuk “memaksa” PNS atau honorer agar mau membaca. Payung hukum tersebut bisa berupa peraturan bupati (perbub) atau perda. Dalam aturan tersebut, setiap pegawai di lingkup pemerintahan diwajibkan untuk membaca buku yang setiap satu judul buku diselesaikan  dengan kurun waktu yang disesuaikan. Apakah itu tiga hari sekali, satu pekan, dua pekan atau lainnya. Elok juhs, jika setiap kantor menyediakan ruang perpustakaan mini, yang nantinya setiap pegawai wajib membaca sekitar 15 menit, sebelum waktu kerja dimulai. Kenapa harus pegawai pemerintahan? Sebab, mereka merupakan bagian dari perencana atau penentu kebijakan, yang tentunya dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Dengan terbiasa membaca buku, nantinya teori atau pengetahuan yang ada di dalam buku, bisa menjadi referensi dalam membuat kebijakan. Pun demikian, pejabat pemerintahan merupakan figur yang harus bisa menjadi contoh yang positif bagi masyarakat. Dengan mau menjadi pelopor dalam upaya meningkatkan budaya literasi, tentunya akan memacu masyarakat untuk berbuat hal yang positif pula. Sebagai tanggung jawab bersama, masyarakat di sini juga harus mengambil peran. Sesuatu yang bisa dilakukan adalah, orang tua hendaknya memberlakukan jam belajar, yakni bisa dilakukan pukul 18.00-20.00 WIB. Ketika jam belajar tersebut, televisi yang ada di rumah dimatikan, agar anak-anak bisa fokus belajar. Akan lebih bagus, jika orang tua ikut mendampingi anaknya dalam belajar. Konsep jam belajar seperti ini, sebenarnya sudah ada sebuah perkampungan kecil di Yogyakarta yang menerapakan. Yakni tepatnya di RT 36 RW 09 Taman Patehan, Kraton, Yogyakarta. Hanya saja, di kampung tersebut lama penerapan jam belajarnya yang berbeda. Tak ada salahnya konsep seperti ini juga dijalankan di Rembang, dengan konsekwensi menghilangkan “kebahagiaan”  ibu-ibu menonton sinetron. Sebab, pada jam-jam tersebut, muncul tayangan-tayangan sinetron yang disebut “sangat keren”, hingga membuat mereka kecanduan menonton. Menumbuhkan budaya literasi, bukan pula sekadar memperbanyak jumlah perpustakaan di setiap desa. Meskipun ada, namun, jika kondisi perekonomian masyarakat masih terbatas, akan cukup sulit untuk menggerakkan warga untuk mencintai literasi. Bagaimana mau membaca, jika secara ekonomi mereka masih kesulitan. Artinya, butuh sebuah sentuhan dalam menggerakkan ekonomi masyarakat melaui pelatihan dan pembinaan ekonomi kreatif, sehingga secara bertahap perekonomian masyarakat bisa meningkat. Jika kebutuhan primer dapat tercukupi, maka masyarakat akan lebih rileks untuk memenuhi kebutuhan skunder lainnya, yakni pendidikan yang didapatkan dari membaca buku dan menulis. Bagaimanapun, aktifitas literasi merupakan salah satu aktifitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri generasi muda memengaruhi tingkat keberhasilan baik di jenjang pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kita berharap, Pemda Rembang bisa membuat sebuah gebrakan, agar budaya literasi di wilayah ini terus membumi. (*)    

Baca Juga

TAG

Komentar