Jumat, 29 Maret 2024

Kisah Fathur, Perajin Batik Lasem yang Rasakan Moncernya Omzet Penjualan Batik di Era Orba

Edy Sutriyono
Jumat, 29 Juli 2016 06:05:10
[caption id="attachment_89560" align="aligncenter" width="565"]f-batik 1 (e) Perajin tengah melukis batik Lasem menggunakan canting (MuriaNewsCom/Edy Sutriyono)[/caption]

MuriaNewsCom, Rembang – Dalam dunia fashion, batik saat ini semakin moncer. Apalagi, semenjak batik bisa diakui UNESCO sebagai warisan Indonesia, batik semakin berkembang pesat. Hampir di setiap daerah muncul pengusaha-pengusaha batik khas.

Seperti halnya di Kabupaten Rembang, yang mempunyai batik khas yakni batik tulis Lasem. Meski di tengah gempuran batik-batik modern, batik khas Lasem ini tetap diproduksi dengan cara manual atau tradisional. Inilah yang menjadikan batik ini cukup istimewa.

Batik tulis Lasem ini yang mengantarkan Fathur Rohim (53), menemukan masa kejayaan pada era tahun 1990-an. Pengusaha batik asal Dukuh Tulis, Desa Selopuro, Kecamatan Lasem, Rembang, ini hingga kini masih setiap menerapkan cara tradisional untuk memroduksi batiknya.

Rohim menceritakan, usaha batik ini didirikan tak lepas dari kebiasaannya membantu sang ibu, yakni Maunah, pada tahun 1970-an. Saat itu ibunya sudah merintis usaha batik sejak zaman penjajahan Jepang.

Saat masih berusia 10 tahun, ia sering membantu keluarganya mengirimkan batik ke penjual di wilayah Rembang, Jatirogo, hingga Tuban. Selain itu, dirinya juga tak jarang membantu ikut menjemur hasil batik tersebut.

Hingga akhirnya, ia tergerak untuk membuka usaha sendiri pada tahun 1980-an. "Saya bisa membuka usaha batik juga lantaran tahu dan sering membantu dalam pembuatan batik ini. Sehingga saya memberanikan diri untuk membuka usaha ini," ujarnya.

Dari sembilan bersaudara, hanya ia dan kakanya yang nomor empat yang meneruskan usaha batik ibunya. Mereka berdua ini yang sejak kecil ikut membantu usaha ibunya itu. Sementara saudaranya yang lain memilih usaha atau pekerjaan lain.

Saat ini tempat usahanya itu bisa mempekerjakan 50 karyawan. Namun diakuinya, saat ini penjualan batik tak semoncer tahun 1990-an lalu, sebelum adanya krisis moneter.

"Meskipun omzetnya agak berkurang, yang penting usaha ini harus tetap bisa bertahan. Sebab saat ini pengusaha batik Lasem tinggal sedikit dibanding dengan tahun-tahun lalu," ungkapnya.

Dia melanjutkan, pada tahun 1990-an, batik Lasem cukup laris. Baik itu dibeli oleh warga negara asing maupun lokal.  Dahulu ia bisa mengantongi untung mencapai Rp 15 juta per hari. Dan setelah krisis datang, penjualan bati terus merosot.

Editor : Kholistiono

Baca Juga

Komentar