Jumat, 29 Maret 2024

Ternyata di Provinsi Ini ada 1.719 Desa Rawan Banjir

Murianews
Senin, 27 November 2017 16:46:11
Seorang bapak memanggul anaknya saat melintas banjir di Desa Setrokalangan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Kamis. (MuriaNewsCom/Faisol Hadi)
Murianews, Semarang – Kerawanan bencana di Jawa Tengah saat musim hujan sangat tinggi. Catatan Pemprov Jateng, hampir seluruh wilayah di provinsi ini mempunyai kerawanan bencana, terutama banjir. Data Dinas PU SDA dan Taru Jateng, ada 1.719 desa di 334 kecamatan berstatus rawan banjir dan 1.594 desa berstatus rawan longsor. Kerawanan paling tinggi diperkirakan terjadi pada akhir 2017 dan awal tahun 2018. “Yang perlu dipahami adanya anomali cuaca, seperti karakteristik curah hujan.  Siklus hidrologi yang tidak pernah berubah. Jika dulu, hujan bulan pasti yakni bulan September hingga April atau sekitar delapan bulan. Namun saat ini, karena adanya pemanasan global, hujan itu semakin pendek, lari ke bulan Oktober sampai bulan Januari,” kata Anggota Komisi D DPRD Jateng, Rusman, Senin (27/11/2018). Selain itu, kata Rusman, sesuai dengan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Semarang yang menyebutkan puncak musim hujan terjadi pada Januari 2018. Pada November ini, seluruh Jateng sudah masuk awal musim hujan. “Adanya pemangkasan waktu hujan karena global warming ini mengakibatkan jumlah air yang turun ke bumi sama dengan kondisi saat musim hujan bulan stabil, cenderung mengakibatkan curah hujan menjadi ekstrem. Akhirnya,hal ini menjadi penyebab timbulnya bencana alam. Ini yang pertama yang harus dipahami,” ujarnya. Dalam kondisi tersebut, alur hujan di Jateng bergerak dari wilayah barat-selatan, yakni eks-karesidenan Banyumas, menuju ke Purworejo, ke Banjarnegara, kemudian bergerak ke tengah, seperti di Temanggung, Semarang, Demak. “Jika di wilayah selatan sudah masuk hujan sangat deras, ternyata di wilayah Solo Raya masih hujan pertama. Bahkan masih ada daerah yang belum terdampak hujan, dari sini bisa kita memahami, di Jateng daerah yang paling rawan terjadi bencana adalah Banjarnegara, Wonosobo dan Magelang untuk bencana tanah longsor,” jelasnya. Selain itu, Rusman mengatakan bahwa salah satu kunci utama dari pengurangan risiko bencana (PRB) adalah aspek pemahaman, yakni masyarakat. Aspek ini adalah agar warga masyarakat tetap hidup aman, nyaman selamat dari bencana walau berdampingan dengan ancaman (living in harmony with disaster). “Dalam konteks kebencanaan, masyarakat harus terus di edukasi. Tapi memang ini bukan perkara sederhana, kita mencontohkan kalau di daerah yang rawan bencana di Gunung Merapi dan Gunung Merbabu terjadi bencana, masyarakat, uatamanya di Kabupaten Klaten, Boyolali dan Magelang sadar dan kadang ‘nagih’ Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat untuk diedukasi kebencanaan,”paparnya. Dia menuturkan bahwa lain halnya ketika sudah ada di Banyumas, Banjarnegara, Karanganyar yang juga masuk titik-titik bencana longsor, mereka cenderung menghindar ketika akan diedukasi tentang kebencanaan. “Dengan kondisi semcam itu, pola pendekatan ini harus diubah dalam skala penanganan bencana. Harusnya, Edukasi penyadaran masyarakat, early warning sistem, bahkan membuat simpul-simpul relawan sampai di tingkat yang paling kecil, utamanya di daerah yang di indikasi rawan bencana alam,” kata PKS ini. Rusman juga meminta masyarakat waspada cuaca ekstrem untuk seluruh wilayah Jateng. Khususnya untuk terjangan angin kencang bersamaan dengan hujan yang juga disertai dengan kilat dan petir. Berdasarkan data BMKG, potensi hujan lebat hingga ekstrem di wilayah Jawa Tengah akan terjadi di Ambarawa, Majenang, Wonosobo, Ungaran, Temanggung, Sragen, Semarang, Salatiga, Purworejo, Purwokerto, Purwodadi, Purbalingga, Pati, Mungkid, Magelang, Kendal, Kebumen, Jepara, Demak, Cilacap, Boyolali, Blora, Batang, dan Banjarnegara. Editor : Ali Muntoha

Baca Juga

Komentar