Jumat, 29 Maret 2024

Perempuan Rembang, Antara Kawin dan Kebodohan Dini

Ali Muntoha
Selasa, 15 November 2016 10:00:41
Ali Muntoha [email protected]
[caption id="attachment_100781" align="alignleft" width="150"]Ali Muntoha muntohafadhil@gmail.com Ali Muntoha
[email protected][/caption] ZAMAN  sudah berkembang, teknologi melejit begitu pesatnya, namun kekolotan masih saja tak mau pergi dari orang-orang di negeri ini. Masih ada saja anggapan bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap, yang hanya punya tiga tugas untuk hidup di dunia ini, yakni “macak, manak, dan masak” (berdandan, melahirkan dan memasak makanan). Padahal sudah tak zamannya lagi perempuan hanya diposisikan sebagai konco wingking, yang dianggap sebagai makhluk bodoh. Ini bukan lagi zaman kerajaan, bukan juga zaman Dinasti Joseon di mana perempuan ditabukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Ini bukan lagi zaman perempuan hanya disiapkan untuk melayani suami, tapi zaman di mana perempuan ikut berkiprah untuk mengubah dunia. Namun pada kenyataanya, kebiasaan dan anggapan kolot masih saja menghinggapi otak beberapa orang-orang di negeri ini. Perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, atau kalau perlu tak perlu sekolah, karena nantinya ujung-ujungnya juga hanya kawin dan ngrumati suami dan anak. Seperti itu yang jadi pendirian mereka. Hal ini setidaknya masih terjadi di kabupaten paling timur Jawa Tengah, yakni Kabupaten Rembang. Di Kota Garam ini, angka pernikahan dini begitu tingginya. Ada beberapa kampung yang masih memegang kebiasaan, bahwa perempuan yang sudah menginjak usia belasan tahun harus segera dikawinkan. Atau kalau tidak, akan dicap sebagai perawan tua tak laku. Cap ini sangat menyakitkan, sehingga banyak orang tua yang buru-buru mengawinkan anaknya jika sudah kelihatan agak gede. Catatan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Rembang, jumlah anak perempuan yang dikawinkan pada usia sekolah dasar (SD) dan SMP bahkan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Dan secara umum, ada ribuan perempuan di Rembang yang menjalani pernikahan dini. Dari catatan BPMPKB bisa dilihat Pada tahun 2013 gadis usia 10-16 tahun yang menikah tercatat sebanyak 26 orang. Jumlah itu mengalami peningkatan pada tahun 2014 menjadi 33 orang. Begitu juga di tahun 2015 pernikahan gadis di usia 10-16 tahun lebih meningkat lagi menjadi 47 orang. Angka pernikahan dini di Rembang memang cukup tinggi. Tak hanya anak perempuan usia SD-SMP saja, pada usia 17-18 tahun jumlahnya bahkan lebih banyak lagi, mencapai ribuan orang per tahun. Catatan BPMPKB juga menunjukkan pada tahun 2013 jumlah perempuan usia 17-18 tahun yang menikah sebanyak 1.643 orang. Jumlah itu mengalami penurunan pada tahun 2014 sebanyak 1.183 orang. Namun penurunannya tak berlangsung lama, karena kembali naik lagi di tahun 2015 yang tercatat sebanyak 1.463 orang. Kebiasaan untuk menikahkan anak perempuan di usia yang masih sangat belia, ini sudah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Para orang tua ini seolah tidak sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan mereka. Sehingga anak yang seharusnya masih usia sekolah, dipaksa untuk menikah. Maka tak salah jika tingkat pendidikan di kabupaten ini juga rendah. Bahkan angka buta huruf di Rembang sangat tinggi, dan didominasi oleh kaum perempuan. Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang mencatat, tahun ini masih ada 14.789 orang yang buta aksara. Dan dari jumlah sebanyak itu, 11.635 di antaranya adalah kaum perempuan. Munculnya data ini bukan tanpa sebab, yakni imbas dari kekolotan pola pikir warga yang menganggap tidak penting pendidikan bagi anak perempuan mereka. Anak-anak perempuan di desa-desa paling mentok hanya mengenyam bangku sekolah sampai SD, itu pun banyak yang tidak sampai tamat dan banyak juga yang tidak disekolahkan. Para perempuan ini seolah disiapkan untuk menjadi kaum bodoh sejak dini, dan kemudian dikawinkan. Karena memang begitulah pola pikir warga-warga yang masih kolot ini. Mereka menganggap perempuan ya endingnya kawin, jadi nda perlu pintar. Anggapan seperti ini harus segera diubah. Karena bagaiamanapun juga, anak perempuan punya hak yang sama dengan kaum laki-laki, terutama masalah pendidikan. Mereka juga berhak untuk menjadi pintar, mendapatkan pendidikan yang layak, dan juga hak untuk meraih cita-citanya. Para kaum perempuan ini punya hak untuk pintar, minimal pintar dalam mengelola hidup dan pintar untuk mendidik anak-anak mereka. Tak zamannya lagi perempuan dibatasi, karena mereka juga punya potensi untuk berkreasi. Dampak dari kebodohan yang disiapkan sejak dini ini, menjadikan kaum perempuan selalu menjadi yang tertindas. Maka seringlah muncul kasus pernikahan dini yang ujung-ujungnya berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian. Dampak dari kebodohan ini sangat terasa untuk masa depan mereka. BKKBN sejak beberapa tahun ini sudah menggencarkan program Generasi Berencana. Tujuan utamanya, untuk menekan angka pernikahan dini di Indonesia. Dari program ini akan diajak untuk merencanakan hidup dan masa depannya. Mulai dari merencanakan pendidikan, kuliah, bekerja, kapan menikah, kapan punya anak, dan berapa anak yang ingin dimiliki. Tak ini sja tidak cukup. Peran dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat sangat penting, untuk mengentaskan kaum perempuan dari kebodohan ini. Jangan lagi ada upaya mengekang dan membatasi pendidikan untuk perempuan, dan jangan paksa mereka untuk menikah jika memang belum siap. (*)

Baca Juga

Komentar