Jumat, 29 Maret 2024

Kisah Bambang, Petani Asal Rembang yang Sukses Budidaya Burung Murai Batu

Edy Sutriyono
Senin, 3 Oktober 2016 11:12:12
Bambang Suratman sedang memberi makan anakan burung murai batu di rumahnya (kiri). Kini, Bambang sudah memiliki omzet jutaan rupiah per bulan dari penjualan murai batu. (MuriaNewsCom/Edy Sutriyono)
Murianews, Rembang – Memiliki suara kicauan yang merdu, membuat burung murai batu menjadi primadona para pecinta burung berkicau. Wajar, jika banyak masyarakat membudidayakan murai. Apalagi, harga jual murai bernilai ekonomis tinggi. Pembudidaya bisa meraup omzet dari ternak murai jutaan rupiah per bulan. Di kalangan kicau mania atau pecinta burung berkicau, nama burung murai batu sudah tidak asing lagi. Burung yang memiliki nama latin copsychus malabaricus ini, telah menjadi ikon kontes lomba burung berkicau. Murai batu dari hutan Sumatera yang paling banyak diburu pecinta burung kicau. Selain suaranya merdu dan kencang, murai Sumatra banyak variasi nadanya. Bentuk ekornya bisa memanjang ke bawah hingga 30 cm. Ketika berkicau, burung murai pandai meniru bunyi suara yang ada di sekitarnya. Misalnya, burung murai bisa meniru suara tembakan, air terjun dan suara binatang lainnya seperti kera, kucing, serta ayam. Dengan berbagai kelebihannya itu, wajar, jika banyak masyarakat yang kepincut membudidayakan murai batu. Apa lagi, burung ini bernilai ekonomis tinggi. Salah satu pembudidaya burung murai batu adalah Bambang Suratman, warga Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Rembang. Menurutnya, bisnis burung Murai memang menguntungkan. Untuk yang masih anakan saja, Bambang biasa menjual Rp 1,2 juta per ekor. Sedangkan untuk indukan, ia membanderol Rp 2,5 hingga 3 juta per ekor. Pria 56 tahun, ini sudah membudidayakan murai sejak 2011 lalu. Pada awalnya, ia budidaya burung jalak putih pada 2010. Ketika itu, anaknya yang merantau ke Jakarta pulang membawa sepasang jalak putih. Kemudian, jalak putih tersebut ia tangkarkan, namun, selama setahun telur yang dihasilkan tak pernah menetas. Kemudian, Bambang, yang kesehariannya juga sebagai petani ini, pada 2011 memberanikan diri untuk budidaya burung murai batu. “Dengan modal hutangan, kemudian saya membeli 3 pasang burung Murai di penangkaran burung temennya anak saya di Medan,” ungkapnya. Namun demikian, katanya, karena awal-awal dirinya cukup minim pengalaman dalam penangkaran murai batu, sehingga, justru mengalami kerugian. Karena, burungnya banyak yang mati karena terserang penyakit dan juga ada yang lepas. Menurutnya, kerugiannya mencapai sekitar Rp 20 juta. Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Justru dari berbagai kegagalan dan kerugian itu, menjadi pengalaman dirinya untuk menjadi pembudidaya burung murai yang sukses. Ia mulai serius menekuni usahanya. Anakan murai betina, ditahannya dari penawaran pembeli. Upayanya itu berhasil, karena ia menjadi punya banyak indukan murai. “Dari situ, penangkaran murai batu milik saya terus berkembang. Hingga kini, saya punya sebanyak 16 kandang dengan total 50 ekor lebih murai. Saya juga mendapat pinjaman lunak Rp 30 juta dari PT Semen Indonesia pengembangan budidaya murai batu saya ini,” katanya. Sedangkan untuk pemasarannya, menurutnya, sejauh ini dirinya tidak terlalu kerepotan, karena sudah cukup banyak pecinta burung yang tahu mengenai usaha yang digelutinya ini. Apalagi, dirinya juga dibantu anaknya yang berada di Jakarta untuk memasarkannya. Bahkan, kalau sedang ramai, katanya, anaknya bisa menjual 2-3 ekor per minggu. Di sisi lain, yang cukup menjadi kendala dalam membudidayakan burung murai menurutnya, selain rawan terserang penyakit, yakni pakan burung yang stoknya cukup tersendat, khususnya jangkrik dan kroto. Jikapun ada, menuruntya harganya cukup mahal. "Untuk saat ini saja harga jangkrik satu karung bisa sebesar Rp 130 ribu, dan itupun barangnya sudah langka.  Satu karung itu, biasanya dua kilogram, dan itu hanya cukup untuk stok pakan selama dua hari. Oleh sebab itu, pakan itu saya berikan sedikit-sedikit saja biar awet," terangnya. Editor : Kholistiono

Baca Juga

Komentar